Minggu, 13 Mei 2012

AMBA-JĀTAKA

“Tetaplah semangat, Saudaraku,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang brahmana baik yang termasuk keluarga bangsawan di Sawatthi, yang menyerahkan diri pada kebenaran dan bergabung dalam Sanggha, namun tidak mengalami kemajuan dalam setiap tugasnya. Tidak menyalahkan jumlah kehadirannya pada para guru; teliti akan masalah makanan dan minuman; giat dalam melaksanakan tugas-tugas di seluruh ruang utama, pemandian dan sebagainya; sempurna dalam ketepatan waktu dalam ketaatan terhadap empat belas pelajaran utama dan delapan puluh pelajaran tambahan; ia selalu menyapu wihara, kamar-kamar, beranda dan jalan menuju wihara mereka, dan memberikan air kepada para penduduk yang kehausan. Karena kebaikannya, para penduduk secara teratur membawakan makanan untuk jatah lima ratus orang setiap harinya kepada para bhikkhu; dan banyak keuntungan dan hadiah kepada wihara yang terus bertambah, dan ada banyak kemakmuran karena kebaikan seseorang.
Suatu hari dalam Balai Kebenaran para bhikkhu membicarakan bagaimana kebaikan seorang bhikkhu membawa keuntungan dan hadiah bagi mereka, dan menambah hidup banyak orang dengan kebahagiaan. Masuk ke dalam balai tersebut, [450] Sang Guru bertanya dan diberitahukan apa yang sedang mereka bicarakan. “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata Beliau, “bhikkhu ini secara teratur memenuhi tugasnya. Di kehidupan yang lampau lima ratus orang petapa yang mencari buah-buahan mendapatkan buah-buahan yang tersedia karena kebaikan hatinya.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana di bagian utara, dan setelah dewasa, ia meninggalkan keduniawian dan menetap sebagai guru dari lima ratus orang petapa di kaki pegunungan. Pada masa itu, terjadi bencana kekeringan di Negeri Himalaya, dimana-mana air mengering, dan semua binatang buas juga menderita sakit. Melihat makhluk-makhluk malang itu kehausan, salah seorang petapa menebang sebatang pohon yang ia lubangi menjadi sebuah palung, dan palung ini ia isi dengan semua air yang bisa ia temukan.
Dengan cara ini ia memberi minum kepada hewan-hewan tersebut. Mereka datang dalam bentuk kawanan, minum dan minum sehingga petapa ini tidak mempunyai waktu yang tersisa untuk pergi dan mengumpulkan buah-buahan untuk dirinya sendiri. Tanpa memedulikan rasa laparnya sendiri, ia bekerja keras untuk memuaskan rasa dahaga hewan-hewan tersebut. Hewan-hewan ini berpikir, “Betapa tekunnya petapa ini mengatur kebutuhan kami sehingga ia membiarkan dirinya tidak mempunyai waktu untuk mencari buah-buahan. Pasti ia sangat lapar. Mari kita sepakati bahwa masing-masing dari kita yang datang kemari untuk minum harus membawakan buah-buahan kepada petapa ini.” Hal tersebut mereka sepakati, setiap makhluk yang datang membawakan mangga atau jambu atau buah sukun maupun buah-buah sejenisnya; hingga pemberian mereka bisa dimuat dalam dua ratus lima puluh gerobak; dan terdapat makanan yang cukup untuk lima ratus orang petapa, dengan jumlah yang berlimpah.
Melihat hal ini, Bodhisatta berseru, “Demikianlah kebaikan satu orang telah membuat tersedianya makanan untuk semua petapa. Benar, kita harus selalu teguh dalam melakukan hal yang benar.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini : —
Tetaplah semangat, Saudaraku; tetap teguh
memegang harapan;
Jangan biarkan semangatmu surut dan melemah;
Jangan lupakan ia, yang melalui puasa203 yang menyengsarakan,
mendapatkan buah-buahan di luar keinginan hatinya.
[451] Demikianlah ajaran dari makhluk yang agung itu kepada rombongan petapa tersebut.

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu ini adalah petapa baik di masa itu, Saya sendiri adalah guru para petapa tersebut.”
Catatan kaki :
203 Bandingkan Vol.IV.269 (Teks), dan supra pada hal.300.

Tidak ada komentar: