Rabu, 30 Mei 2012

SŪKARA-JĀTAKA

“Anda berkaki empat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang thera yang sangat tua.
Diceritakan bahwasanya pada suatu upacara malam, dan Sang Guru berkhotbah berdiri di tangga yang berhiasan permata di depan ruangan yang wangi (gandhakuṭi ). Setelah menyampaikan khotbah tentang Yang Sempurna Menempuh Jalan, Beliau pergi tidur di dalam gandhakuṭi, dan Panglima Dhamma, memberi hormat kepada Sang Guru dan kembali ke kamarnya sendiri.
Mahāmoggallāna (Mahamoggallana) juga kembali ke kamarnya, dan setelah beristirahat sebentar dia kembali menanyakan sebuah pertanyaan kepada Thera Sāriputta (Sariputta). Sewaktu dia menanyakan pertanyaan demi pertanyaan, sang Panglima Dhamma menjelaskan semuanya, seperti membuat bulan muncul di langit. Di sana hadir empat kelompok siswa12, yang duduk dan mendengarkan semuanya.
Kemudian sebuah gagasan datang ke pikiran satu thera senior. “Andaikata,” dia berpikir, “saya bisa membuat Sariputta bingung di hadapan orang-orang ini, dengan menanyakan beberapa pertanyaan, maka mereka semua akan berpikir, ‘Betapa pintarnya orang ini!’ dan saya akan memperoleh banyak pujian dan reputasi. “Demikianlah dia bangkit dari kumpulan orangorang itu, melangkah mendekati Sariputta, berdiri di salah satu sisi, dan berkata, “Āvuso 13 Sariputta, Saya juga mempunyai suatu pertanyaan buatmu; sudikah Anda membiarkan saya mengutarakannya? Berilah saya suatu keputusan di antara diskriminasi atau nondiskriminasi, penyangkalan atau penerimaan, perbedaan atau lawan perbedaan 14 .”
Thera itu melihatnya. “Orang tua ini,“ pikirnya, “masih berdiri di lingkungan nafsu; dia sangat kosong, dan tidak tahu apa-apa.” Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadanya karena sangat memalukan; meletakkan kipasnya, dia bangkit dari tempat duduknya, [10] dan kembali ke kamarnya. Dan begitu juga Thera Moggallana. Orang-orang di sekitarnya melompat bangun dan berteriak, “Tangkap laki-laki tua jahat ini, yang tidak mengizinkan kita mendengarkan khotbah!” dan mereka mengepungnya. Dia pun berlari, dan jatuh ke dalam sebuah lubang di sudut kakus yang hanya berada di luar wihara itu; ketika bangun, badannya diselimuti kotoran.
Ketika orang-orang melihatnya, mereka merasa bersalah telah melakukannya, dan melapor ke Sang Guru. Beliau bertanya, “Mengapa kalian datang bukan pada waktunya, Para Upasaka?” Mereka memberitahukan apa yang telah terjadi kepada-Nya. “Para Upasaka,” kata Beliau, “Ini bukan pertama kalinya orang tua ini diberhentikan, dan tidak mengetahui kekuatannya sendiri, mengadu kekuatannya dengan yang kuat, hanya untuk ditutupi dengan kotoran. Pada dahulu kala dia mengetahui bagaimana kekuatannya, dan mengadu kekuatannya dengan yang kuat, dan kemudian ditutupi dengan kotoran seperti sekarang ini. “Kemudian atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.

Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta adalah seekor singa yang tinggal di sebuah gua di pegunungan Himalaya. Dekat di sana, terdapat banyak babi hutan yang tinggal di tepi danau; dan di samping danau yang sama itu, hidup sekumpulan petapa di gubuk yang terbuat dari daun-daun dan dahan-dahan pohon.
Suatu hari singa itu menaklukkan seekor kerbau atau gajah atau sejenis hewan buruannya; dan setelah memakan apa yang dia inginkan, dia turun ke danau ini untuk minum. Saat dia keluar, seekor babi hutan yang kuat kebetulan sedang makan di tepi danau. “Dia akan menjadi makananku nanti suatu hari,” pikir singa itu. Tetapi karena takut kalau babi hutan itu melihatnya, dia mungkin tidak akan pernah datang ke sana lagi, singa itu, ketika keluar dari air, menyelinap ke samping. Babi hutan ini melihat hal ini, dan timbul gagasan dalam pikirannya, “Ini dikarenakan dia melihat saya, dan ketakutan! Dia tidak berani datang mendekatiku, dan dia lari ketakutan! Hari ini akan terjadi pertarungan antara saya dengan seekor singa!” Jadi dia meninggikan kepalanya, dan membuat tantangan terhadap singa itu di bait pertama:
Anda berkaki empat – begitu juga saya:
Dengan demikian, Teman, kita berdua sama,
tahukah Anda; Berbaliklah, Singa, berbalik, takutkah Anda?
Mengapa Anda lari dari saya?
[11] Singa itu mendengarnya. “Babi Hutan,“ dia berkata, “untuk hari ini tidak akan ada pertarungan antara Anda dengan saya. Tetapi minggu depan, marilah kita bertarung di tempat ini juga.“ Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, dia pergi.
Babi hutan itu sangat gembira dengan berpikir bagaimana dia akan bertarung dengan seekor singa; dan dia menceritakan kepada semua teman-teman dan keluarganya tentang hal ini. Tetapi kisah ini hanya menakutkan mereka. “Anda akan menjadi kutukan untuk kami semua,” mereka berkata, “dan Anda sendiri sampai kaki. Anda tidak mengetahui apa yang dapat Anda lakukan, kalau tidak Anda tidak akan berhasrat untuk bertarung dengan seekor singa. Ketika singa datang, dia akan membawa kematian untuk Anda dan kita semua; janganlah bengis!” Kata-kata itu membuat babi hutan takut sendiri. “Apakah yang harus saya lakukan kalau begitu?” dia bertanya. Kemudian babi hutan lainnya menasihatinya untuk berguling-berguling di dalam kotoran-kotoran para petapa selama tujuh hari dan membiarkan kotoran itu kering di tubuhnya; kemudian pada hari ketujuh dia harus melembabkan dirinya dengan tetesan embun, dan pertama berada di tempat bertarung; harus menemukan bagaimana angin akan bertiup, dan mendapatkan arah dari mana angin bertiup; dan singa, sebagai mahkluk yang bersih, akan membiarkannya hidup sewaktu menciumnya.
Demikianlah yang dilakukannya; dan pada hari yang telah ditetapkan, dia berada di sana. Begitu singa mencium baunya, dan mencium bau kotoran, dia berkata, “Babi Hutan, muslihat yang licik! Jika Anda tidak diliputi oleh kotoran, saya akan menghabisi nyawamu hari ini juga. Tetapi karenanya, saya tidak dapat menggigitmu, juga tidak mau menyentuhmu dengan kakiku. Oleh sebab itu, saya membiarkan Anda hidup.” Dan kemudian dia mengucapkan bait kedua:
Oh Babi Hutan yang kotor, kulitmu busuk,
bau busuk itu sangat mengerikan buatku;
Jika Anda ingin bertarung, saya mengalah,
dan Andalah yang menjadi pemenangnya.
Kemudian singa itu pergi dan mencari makanannya; dan dengan segera, setelah minum di danau itu, dia kembali lagi ke guanya di pegunungan itu. Dan babi hutan itu berkata kepada keluarganya bagaimana dia mengalahkan singa itu! [12] Tetapi mereka sangat cemas terhadap ketakutan kalau singa itu akan kembali datang pada suatu hari lagi dan menjadi maut bagi mereka semua. Jadi mereka pun melarikan diri dan pergi ke tempat yang lain.


Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, babi hutan adalah thera tua, dan diri-Ku sendiri adalah singa.”

Catatan kaki :
11 Fausbøll, Ten Jātakas, hal. 12, 63, 94 (ia membandingkan No. 278 and 484); R. Morris dalam Contemp. Rev. 1881, vol. 39, hal. 737.
12 Bhikkhu, Bhikkhuni, Upāsaka dan Upāsika.
13 Panggilan akrab sesama bhikkhu, terutama bhikkhu senior terhadap bhikkhu junior, biasa diartikan sebagai sahabat atau saudara; bisa juga digunakan sebagai panggilan akrab bhikkhu terhadap umat awam.
14 Kata-kata ini adalah omong kosong belaka.

Tidak ada komentar: