Minggu, 13 Mei 2012

ASILAKKHAṆA-JĀTAKA

“Perbedaan nasib kita,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang brahmana yang disewa oleh Raja Kosala karena kehebatannya dalam menyatakan apakah sebilah pedang membawa keberuntungan atau tidak. Diberitahukan bahwa saat pandai besi istana menempa sebilah pedang, brahmana ini hanya perlu mencium untuk menyatakan apakah pedang tersebut membawa keberuntungan atau tidak. Ia membuat ketentuan hanya memuji pekerjaan para pandai besi yang memberi hadiah padanya, dan menolak pekerjaan mereka yang tidak menyogoknya.
Ada seorang pandai besi yang telah membuat sebilah pedang dan menempatkannya dalam sarungnya bersama sedikit bubuk merica yang halus, dan membawa pedang dalam kondisi tersebut menghadap raja, yang seketika itu juga menyerahkannya kepada brahmana itu untuk diuji. Brahmana tersebut melepaskan pedang dari sarungnya dan mengendus pedang tersebut. Bubuk merica itu terhisap masuk ke dalam hidungnya dan ia mulai bersin-bersin, begitu kuatnya ia bersin sehingga ia merobek hidungnya dengan bagian pinggir pedang tersebut207.
Kecelakaan yang dialami brahmana ini sampai ke telinga para bhikkhu, dan suatu hari mereka membicarakan hal tersebut dalam perbincangan mereka di Balai Kebenaran ketika Sang Guru masuk. Mendengar topik pembicaraan mereka, Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, brahmana ini merobek hidungnya saat mengendus pedang-pedang tersebut. Nasib yang sama juga menimpa dirinya di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.


Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, di antara orang yang melayaninya terdapat seorang brahmana yang terkenal akan kemampuannya untuk mengatakan apakah sebilah pedang membawa keberuntungan atau tidak. Dan semua kejadian berlangsung sama seperti pada cerita pembuka. Raja memanggil ahli bedah untuk mencocokkan sebuah ujung hidung palsu padanya, yang diwarnai dengan penuh ketrampilan menyerupai hidung yang asli; kemudian brahmana tersebut melanjutkan tugasnya di istana. Brahmadatta tidak mempunyai putra, hanya seorang putri dan seorang keponakan, yang berada di bawah pengawasannya sendiri. Setelah dewasa, mereka saling jatuh cinta. Maka raja meminta para anggota dewan untuk datang dan berkata kepada mereka, “Keponakan saya adalah ahli waris saya. Jika saya menjadikan putri saya sebagai istrinya, ia akan dinobatkan menjadi raja.”
[456] Namun, setelah mempertimbangkannya kembali, ia memutuskan bahwa dalam segala hal keponakannya seperti putranya sendiri, lebih baik ia menikah dengan putri dari negeri lain, dan memberikan putrinya pada pangeran dari kerajaan lain, karena, pikirnya, rencana ini akan memberikan lebih banyak cucu padanya, dan juga memberinya tongkat kekuasaan atas dua kerajaan yang berbeda.
Setelah berunding dengan anggota dewannya, ia memutuskan untuk memisahkan mereka berdua, karenanya, mereka berdua dibuat hidup terpisah. Mereka berusia enam belas tahun dan sedang jatuh cinta secara mendalam, pangeran muda itu tidak memikirkan hal lain selain bagaimana cara membawa pergi putri tersebut dari kerajaan ayahnya. Akhirnya sebuah rencana terpikirkan olehnya, ia meminta seorang wanita yang bijak untuk datang dan memberikan sekantung uang pada wanita tersebut.
“Untuk apa uang ini?” tanyanya.
Ia memberitahukan hasrat hatinya, dan memohon wanita itu untuk membawanya pada putri yang sangat ia cintai.
Wanita itu menjanjikan keberhasilan padanya, dan berkata ia akan memberitahu raja bahwa putrinya berada di bawah pengaruh sihir, namun karena sesosok makhluk telah merasukinya cukup lama, raja akan melengahkan penjagaannya, dan ia akan membawa putri itu pada suatu hari dengan menggunakan sebuah kereta menuju pemakaman dengan kawalan yang ketat, dan di sana, dalam sebuah lingkaran sihir, ia akan membaringkan putri tersebut di sebuah tempat tidur dengan mayat seorang lelaki di bawah tempat tidur, dan dengan seratus delapan semprotan air wewangian untuk membersihkan tubuhnya. “Dan saat dengan dalih ini saya membawa putri ke pemakaman,” lanjut wanita bijak ini, “ingatlah untuk tiba di pemakaman sebelum kami tiba, dengan keretamu bersama pengawal yang bersenjata dan bawalah bubuk merica bersamamu. Tiba di pemakaman, tinggalkan keretamu di jalan masuk, dan kirim orang-orangmu ke tanah pemakaman sementara engkau sendiri pergi ke puncak bukit dan berbaring seakan telah mati. Kemudian saya akan datang dan mempersiapkan sebuah tempat tidur di atas dirimu, tempat dimana saya membaringkan putri. Akan tiba saat bagimu untuk menghirup merica itu agar engkau bersin sebanyak dua atau tiga kali, dan [457] ketika engkau bersin, kami akan meninggalkan tuan putri dan melarikan diri. Kemudian kalian berdua mandi dan engkau harus membawanya pulang ke rumah bersamamu.” “Bagus sekali,” kata pangeran, “cara yang sangat sempurna.”
Maka pergilah wanita yang bijaksana itu menemui raja, dan dia menyetujui rencana wanita tersebut, sama seperti tuan putri saat rencana itu dijelaskan kepadanya. Ketika saatnya tiba, wanita tua itu memberi tahu putri tersebut mengenai tugas mereka, dan berkata kepada para penjaga di tengah perjalanan untuk menakut-nakuti mereka, “Dengar, di bawah tempat tidur yang akan saya siapkan, terdapat mayat seorang lelaki; dan mayat itu akan bersin. Perhatikan baik-baik, segera setelah ia bersin, ia akan keluar dari bawah tempat tidur dan menangkap orang pertama yang ia temukan. Jadi, bersiap-siaplah kalian semua.”
Sementara itu pangeran tersebut telah tiba di tempat tersebut, dan berada di bawah tempat tidur sebagaimana yang telah diatur.
Selanjutnya, kawanan mereka membawa putri tersebut dan membaringkannya di atas tempat tidur, berbisik padanya agar tidak takut. Pangeran menghirup merica dan segera bersin-bersin. Begitu ia mulai bersin sebelum wanita itu meninggalkan putri tersebut, sambil berteriak dengan keras wanita tersebut berlari, lebih cepat dari mereka semua. Tidak ada seorang pun yang tinggal di tempat tersebut, — semua orang melemparkan senjata mereka dan lari menyelamatkan hidup mereka. Saat itu pangeran keluar dan membawa putri ke rumahnya, seperti yang telah diatur sebelumnya. Wanita tua itu menemui raja dan menceritakan apa yang telah terjadi.
“Baiklah,” pikir raja, “saya selalu berharap mereka menikah, dan mereka telah tumbuh besar bersama seperti biji-bijian dalam bubur nasi.” Maka ia tidak meledak dalam amarah, melainkan pada waktunya, menjadikan keponakannya sebagai raja di negeri tersebut, dengan putrinya sebagai pendamping raja.
Raja baru ini tetap mempertahankan pelayanan yang diberikan oleh brahmana yang terkenal akan kemampuannya menyatakan watak sebilah pedang. Suatu hari, berdiri dibawah terik matahari, ujung hidung palsu brahmana tersebut melonggar dan terjatuh. Di sana, brahmana tersebut berdiri, menutupi wajahnya dengan malu. “Tidak mengapa, tidak mengapa,” tawa raja, “bersin baik untuk beberapa orang, namun tidak untuk orang yang lain. Satu bersin membuat engkau kehilangan hidungmu [458]; sementara saya harus berterima kasih atas satu bersin, baik untuk takhta maupun ratu saya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia membacakan syair berikut ini : —
Perbedaan nasib kita menunjukkan prinsip ini,
— apa yang membawa kebahagiaan untukku,
mungkin membawa penderitaan untukmu.
Begitulah yang diucapkan oleh raja, dan setelah menghabiskan hidup dengan melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

Dengan cara yang bijaksana ini Sang Guru mengajarkan bahwa di dunia ini, adalah salah untuk memikirkan semua hal adalah pasti dan mutlak baik atau buruk dalam semua kejadian yang sama. Akhirnya, Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Orang yang sama, yang sekarang ini terkenal karena mengetahui apakah pedang membawa keberuntungan atau tidak, terkenal dengan kemampuan yang sama di masa itu; dan Saya sendiri adalah pangeran yang mewarisi kerajaan pamannya.”
Catatan kaki :
207 Bandingkan dengan ‘Buddhaghosha’s Parables’ karya Rogers.

Tidak ada komentar: