Rabu, 30 Mei 2012

SIGĀLA-JĀTAKA

“Siapa yang dengan terburu-buru mengerjakan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Kūṭāgārasālā 8, tentang seorang tukang pangkas yang tinggal di Vesali.
Diceritakan bahwasanya laki-laki ini biasa mencukur, menata rambut dan mengepang rambut kaum bangsawan, raja dan ratu, pangeran dan putri, memang dia melakukan semua pekerjaan yang seharusnya dia lakukan. Dia adalah seorang umat yang berkeyakinan, yang berlindung di bawah Tiga Permata9, yang bertekad untuk menaati lima sila; dan dari waktu ke waktu dia selalu mendengarkan khotbah Dhamma dari Sang Guru.
Suatu hari dia berangkat untuk melaksanakan tugas di istana dengan membawa putranya bersamanya. Anak muda itu, ketika melihat seorang gadis Licchavi yang berpakaian cantik dan anggun seperti seorang bidadari, dia pun jatuh cinta kepadanya. Dia berkata kepada ayahnya, ketika mereka meninggalkan istana bersama, “Ada seorang gadis—jika saya mendapatkannya, saya akan hidup; jika tidak, hanyalah kematian yang ada bagiku.” Dia tidak mau mencicipi sepotong makanan pun, hanya telentang sambil memeluk gulingnya. Ayahnya melihatnya dan berkata, “Mengapa, Putraku, janganlah menginginkan buah terlarang. Anda bukanlah siapa-siapa—anak seorang pemangkas rambut; gadis Licchavi ini adalah seorang berketurunan bangsawan. Anda tidak sebanding dengannya. Saya akan mengenalkan orang lain kepadamu; seorang anak perempuan dari tempatmu dan golonganmu sendiri.“ Tetapi anak laki-laki itu tidak mau mendengarkannya. Kemudian datang ibu, abang, dan kakak, bibi dan paman, semua sanak saudaranya, dan semua teman-teman dan rekan-rekannya, mencoba untuk menenangkannya; tetapi mereka tidak dapat menenangkannya. Jadi dia merana dan makin merana, dan berbaring di sana sampai dia meninggal.
Kemudian ayahnya mengadakan upacara pemakamannya dan melakukan apa yang biasa dilakukan untuk arwah orang yang meninggal. [6] Setelah beberapa waktu, ketika kesedihannya telah mulai memudar, dia berpikir dia akan melayani Sang Guru. Dengan membawa dalam jumlah yang banyak bunga-bunga, wangi-wangian, dan minyak wangi, dia berkunjung ke Mahāvana dan memberi pujaan kepada Sang Guru, memberi hormat kepada-Nya, dan duduk di samping. “Mengapa Anda menyembunyikan diri selama ini, Upasaka?” Sang Guru bertanya. Kemudian laki-laki itu menceritakan apa yang telah terjadi. Jawab Sang Guru, “Ah, Upasaka, ini bukan pertama kalinya dia menderita karena menanamkan hatinya kepada apa yang tidak seharusnya dia miliki; ini jugalah merupakan apa yang telah dilakukannya dahulu.“ Kemudian atas permintaan upasaka tersebut, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor singa muda di daerah pegunungan Himalaya. Pada keluarga yang sama, ada beberapa adik laki-laki, dan satu saudara perempuan, dan semuanya tinggal di Gua Emas.
Di dekat gua ini terdapat Gua Kristal di atas Gunung Perak tempat seekor serigala tinggal. Setelah beberapa waktu, singa-singa tersebut kehilangan orang tua mereka akibat serangan kematian. Setelah itu, mereka selalu meninggalkan singa betina, saudara perempuan mereka, di dalam gua, ketika mereka mengembara untuk mencari makan; yang kemudian jika mereka mendapatkannya, mereka akan membawa makanan tersebut pulang untuk dimakannya.
Ketika serigala itu melihat sekilas singa betina ini, dia jatuh cinta kepadanya; tetapi bila singa tua dan singa betina ada, dia tidak mendapatkan jalan masuk. Ketika ketujuh kakaknya pergi mencari makanan, dia pun keluar dari Gua Kristalnya, dan bergegas ke Gua Emas itu; tempat dia berdiri di samping singa betina muda itu dan menyapanya dengan licik, dengan kata-kata menggoda dan membujuk seperti berikut:
“Oh, Singa Betina, saya adalah seekor makhluk yang berkaki empat, dan begitu juga dirimu. Oleh sebab itu jadilah Anda sebagai pasanganku, dan saya akan menjadi suamimu! Kita akan tinggal bersama dalam persahabatan dan hubungan yang baik, dan Anda akan selalu mencintaiku!”
Setelah mendengar ini, singa betina berpikir dalam hati, “Serigala ini adalah jenis binatang buas, keji dan seperti seorang laki-laki dengan kasta rendah: tetapi sebaliknya saya adalah yang dihormati sebagai kaum bangsawan. Dengan begitu, terhadap diriku dia berkata demikian adalah sangat tidak layak dan buruk. Bagaimana saya dapat hidup setelah mendengarkan apa yang dikatakannya? Saya akan menahan nafas sampai saya mati.”—Kemudian, dia berpikir sejenak, “Jangan,” dia berkata, “untuk mati seperti itu tidak akan rupawan. Saudara laki-laki saya akan segera pulang; Saya akan [7] memberitahu mereka dulu, dan kemudian baru saya mengakhiri hidup saya sendiri.”
Serigala itu, mendapatkan tidak ada jawaban, merasa yakin dia tidak peduli apa pun terhadapnya; jadi dia pulang kembali ke Gua Kristalnya, dan berbaring dengan sedih.
Adapun salah satu dari singa-singa muda tersebut, setelah membunuh seekor kerbau, atau seekor gajah, atau apa saja, dia memakan sebagian darinya, dan membawa pulang untuk berbagi dengan adik perempuannya, yang dia berikan padanya, sambil mengajaknya makan. “Tidak, Kakak,” katanya, “tidak sepotong pun akan saya makan; karena saya akan mati!” “Mengapa bisa begini?” tanyanya. Dan singa betina menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. “Di mana serigala ini berada sekarang?” tanyanya. Dia melihatnya berbaring di dalam Gua Kristal, dan mengira dia berada di atas langit10, dia berkata, “Mengapa, Kakak, tidak dapatkah Anda melihatnya di Gunung Perak, berbaring di atas langit?“ Singa muda, tidak menyadari bahwa serigala itu berbaring di dalam Gua Kristal, dan menganggap bahwa dia benar-benar di langit,  melakukan sebuah terjangan, seperti yang biasa dilakukan singa-singa, untuk membunuhnya, dan menubruk kristal itu: yang menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping, dan jatuh ke kaki gunung itu, dia pun binasa saat itu juga.
Kemudian datang yang lain, kepadanya singa betina itu menceritakan cerita yang sama. Singa ini bahkan melakukan apa yang dilakukan singa pertama, dan jatuh mati di kaki gunung.
Ketika enam dari singa-singa itu binasa dengan keadaan yang sama, dan yang terakhir datang adalah si Bodhisatta. Ketika dia menceritakan kisahnya, dia kemudian menanyakan di mana serigala itu berada. “Dia berada di sana,” jawabnya, “di atas langit, di atas Gunung Perak!” Bodhisatta berpikir—“Serigala berbaring di langit? Omong kosong. Saya tahu apa itu: dia sedang berbaring di dalam Gua Kristal.” Jadi dia datang ke kaki gunung, dan di sana dia melihat keenam abangnya terbaring mati. “Saya tahu mengapa begini,” pikirnya; “mereka semuanya bodoh, dan kekurangan kebijaksanaan yang sempurna; tidak mengetahui bahwa itu adalah Gua Kristal, mereka menggunakan hati mereka melawannya, dan terbunuh. Ini adalah hasil dari melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa berpikir;“ dan dia mengulangi bait pertama:—
Siapa yang dengan terburu-buru mengerjakan suatu usaha,
tidak memperhitungkan hal-hal apa yang bakal terjadi,
seperti seorang yang membakar mulutnya pada saat makan,
demikian dia jatuh sebagai korban terhadap
rencana-rencana yang disusunnya.
[8] Setelah mengucapkan baris-baris ini, singa itu melanjutkan: “Saudara-saudara saya ingin membunuh serigala ini, tetapi tidak tahu menyusun rencana mereka dengan pintar; jadi mereka melompat terlalu cepat, dan datanglah ajal mereka. Ini tidak akan saya lakukan; tetapi saya akan membuat serigala ini menghancurkan hatinya sendiri ketika dia berbaring di sana di dalam Gua Kristal. “Jadi dia mencari keluar jalan yang biasanya dilalui serigala untuk naik dan turun, dan berbalik ke jalan itu, dia meraung tiga kali raungan singa-singa, bumi dan langit menghasilkan satu raungan yang sangat hebat! Serigala yang sedang berbaring di dalam Gua Kristal itu pun ketakutan dan terperanjat, hatinya meledak, dan binasa di tempat seketika.
____________________
Sang Guru melanjutkan, “Demikianlah serigala binasa mendengar raungan singa itu.” Dan dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Beliau mengulangi bait kedua berikut:—
Di Daddara, singa memberi suatu raungan,
dan membuat Gunung Daddara bergema kembali.
Susah untuk seekor serigala hidup;
dia sangatlah takut mendengar suara itu,
hatinya meledak menjadi dua.

[9] Demikianlah singa membuat serigala itu menemui ajalnya. Kemudian dia menguburkan saudara-saudaranya bersama-sama dalam satu kuburan, dan berkata kepada saudara perempuannya mereka semua telah mati, dan menghiburnya, dan dia tinggal selama hidupnya di Gua Emas, sampai dia meninggal ke tempat yang diperoleh dari kebaikan-kebaikannya.

Ketika Sang Guru telah menyampaikan uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenaran-kebenarannya, upasaka itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.—“Pada masa itu, anak tukang pangkas adalah serigala; anak perempuan Licchavi adalah singa betina yang muda; enam singa-singa muda yang lainnya adalah sekarang bhikkhu-bhikkhu senior; dan diri-Ku sendiri adalah singa yang paling tua.”

Catatan kaki :
8 Sebuah balai (ruangan) di Mahāvana. Lihat keterangan selengkapnya di Dictionary of Pali Proper Name (DPPN) by Malalasekera, hal. 659. Arti harfiah dari kūṭāgāra adalah bangunan beratap runcing, bangunan bermenara, bangunan bertingkat.
9 Buddha, Dhamma, dan Saṅgha.
10 Karena tembus pandang.

Tidak ada komentar: