Jumat, 25 Mei 2012

NAṄGUṬṬHA-JĀTAKA

“Jātaveda yang keji,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai pertapaan salah dari para ājīvaka, atau petapa telanjang.
Menurut kisah yang diceritakan secara turun temurun, di belakang Jetawana mereka selalu melatih pertapaan 223 yang salah. Sejumlah bhikkhu melihat mereka berjongkok pada tumit mereka dengan penuh kesakitan, berayun di udara seperti kelelawar, berbaring di atas duri, membakar diri mereka dengan lima kobaran api dan seterusnya dalam keanekaragaman pertapaan salah mereka, — tergerak untuk bertanya pada Sang Guru apakah tindakan itu dapat memberikan hasil yang baik.
“Sama sekali tidak,” jawab Sang Guru. “Di kehidupan yang lampau, mereka yang bijaksana dan penuh kebajikan masuk ke dalam hutan dengan membawa api kelahiran mereka, berpikir untuk mendapatkan sesuatu dari cara yang keras tersebut; namun menemukan diri mereka tidak lebih baik setelah semua pengorbanan yang telah diberikan pada api tersebut, dan pada semua praktik yang sejenisnya, langsung menyiram api kelahiran tersebut dengan air hingga padam. Dengan melakukan meditasi, kemampuan batin luar biasa dan pencapaian (meditasi) dapat diperoleh dan akan mendapatkan kesempatan untuk terlahir kembali di alam brahma.” Setelah mengucapkan itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

[494] Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang brahmana di Negeri Utara, dan pada hari kelahirannya orang tuanya menyalakan sebuah api kelahiran untuknya.
Saat ia berusia enam belas tahun, mereka berkata kepadanya, “Nak, pada hari kelahiranmu kami menyalakan sebuah api kelahiran untukmu. Sekarang, engkau harus memilih. Jika engkau ingin menjalani hidup berkeluarga, pelajari tiga weda, namun jika engkau ingin mencapai alam brahma, bawa apimu bersamamu ke dalam hutan dan jaga baik-baik, hingga mendapatkan perhatian para mahabrahma, dan setelah meninggal akan masuk ke alam brahma.”
Memberitahu orang tuanya bahwa hidup berkeluarga tidak menarik baginya, ia masuk ke dalam hutan dan tinggal di sebuah pertapaan untuk menjaga apinya. Seekor sapi jantan diberikan kepadanya sebagai bayaran di sebuah pinggiran desa pada suatu hari, setelah membawa sapi tersebut pulang ke tempat pertapaannya, terlintas dalam pikirannya untuk mempersembahkan seekor sapi kepada dewa api. Namun mendapatkan ia tidak mempunyai persediaan garam, dan merasa bahwa dewa api tidak dapat menyantap daging persembahannya tanpa garam, ia memutuskan untuk pergi dan membawa sedikit persediaan dari desa untuk tujuan tersebut. Maka ia mengikat sapi jantan itu dan kembali ke desa.
Saat ia pergi, satu rombongan pemburu datang, melihat sapi itu, mereka membunuh dan memasaknya untuk dijadikan makan malam mereka. Apa yang tidak mereka makan dibawa pergi oleh mereka, hanya meninggalkan ekor, kulit dan tulang kering. Menemukan sisa-sisa yang menyedihkan itu saat kembali, brahmana tersebut berseru, “Jika dewa api ini tidak mampu menjaga miliknya sendiri, bagaimana mungkin ia bisa menjaga saya? Melayani dia hanya akan menghabiskan waktu, tidak membawa kebaikan maupun keuntungan.” Kehilangan minatnya untuk memuja dewa api, ia berkata, “Dewa api, jika engkau tidak bisa menjaga dirimu sendiri, bagaimana engkau bisa menjaga saya? Daging telah habis, sebagai gantinya engkau harus menyantap sampah ini.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia melemparkan ekor dan sisa-sisa yang ditinggalkan oleh para perampok itu ke dalam api, dan mengucapkan syair berikut ini : —
Jātaveda224 yang keji, ini ekor untukmu;
Dan ingatlah bahwa engkau cukup beruntung
untuk mendapatkan sebanyak itu ! [495]
Daging yang terbaik telah habis;
tahanlah dengan ekor hari ini!
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, makhluk yang agung itu memadamkan api dengan air dan berangkat untuk menjadi seorang petapa. Ia memperoleh kemampuan batin luar biasa dan pencapaian meditasi, dan akan terlahir kembali di alam brahma.

Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saya adalah petapa yang memadamkan api di masa itu.”
Catatan kaki :
223 Lihat (Contoh) Majjhima Nikāya, hal.77-8, untuk daftar kekerasan para petapa, yang ditentang dalam Agama Buddha.
224 Lihat No.35.

Tidak ada komentar: