Selasa, 28 Februari 2012

PIYAJATIKA SUTTA

1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu ketika, Sang Buddha tinggal Savatthi, di hutan Jeta, di Taman Anathapindika.
2. Pada waktu itu seorang anak, satu-satunya, yang dicintai oleh ayahnya meninggal dunia. Setelah anak laki-lakinya meninggal, ia tidak memberikan perhatian kepada pekerjaannya dan makanannya. Ia pergi ke kuburan anaknya dan menangis: “Anakku satu-satunya, di mana kamu? Anakku satu-satunya, di mana kamu?”
3. Kemudian ia pergi kepada Sang Buddha, dan setelah memberi hormat kepada-Nya, ia duduk di salah satu sisi. Setelah ia duduk, Sang Buddha berkata kepadanya: “Perumah tangga, kemampuanmu kelihatannya seperti kemampuan mereka yang kehilangan ingatan. Kemampuanmu dalam keadaan yang tidak normal.”
“Bagaimana kemampuan saya dapat berada dalam keadaan normal, Yang Mulia, Guru? Anak laki-laki satu-satunya yang kusayangi dan kucintai telah tiada. Sejak ia meninggal, saya tidak memperhatikan lagi pekerjaan dan makanan saya. Saya terus pergi ke kuburannya dan menangis: ‘Anakku satu-satunya, di mana kamu ? Anakku satu-satunya, di mana kamu?’ ”
“Jadi itulah perumah-tangga, itulah sebabnya. Orang-orang yang kita cintai, mereka yang terkasih (membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan.”
“Yang Mulia, Guru, siapa yang pernah (berpikir) bahwa orang-orang yang kita cintai, mereka yang terkasih, (membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan? Yang Mulia Guru, orang-orang yang kucintai, mereka yang terkasih, (membawa) kebahagiaan dan kegembiraan.”
Kemudian, karena tidak senang akan kata-kata Sang Buddha dan tidak menyetujuinya, ia bangkit dari tempat duduknya dan pergi.
4. Kemudian, pada suatu kesempatan, beberapa penjudi bermain dadu tidak jauh dari tempat Sang Buddha. Kemudian perumah-tangga ini pergi kepada para penjudi tersebut dan berkata: “Baru saja tuan-tuan, saya pergi kepada Pertapa Gotama, dan setelah memberi hormat kepada-Nya, saya duduk di salah satu sisi. Ketika saya duduk, Pertapa Gotama berkata kepada saya: ‘Perumah-tangga, kemampuanmu kelihatannya seperti kemampuan mereka yang kehilangan ingatan. Kemampuanmu tidak dalam keadaan seperti mereka yang normal.’ Ketika hal ini dikatakan tuan-tuan, saya ceritakan kepada-Nya: ‘Bagaimana kemampuan saya dalam keadaan normal, Yang Mulia Guru? Anak laki-laki yang paling saya sayangi dan cintai meninggal. Sejak ia meninggal saya tidak memikirkan lagi pekerjaan dan makanan saya. Saya terus mengunjungi kuburannya dan menangis: Anakku satu-satunya, di mana kamu? Anakku satu-satunya, di mana kamu?’ (Tetapi Pertapa Gotama berkata kepada saya) ‘Jadi itulah Perumah-tangga, itulah sebabnya. Mereka yang kita sayangi, mereka yang kita cintai (membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan.’ (saya berkata) ‘Yang Mulia Guru, siapakah yang pernah (berpikir) bahwa orang-orang yang kita cintai, mereka yang kita kasihi, (membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan? Yang Mulia Guru, orang-orang yang kita cintai, mereka yang kita kasihi, membawa kebahagiaan dan kegembiraan.’ Kemudian karena tidak merasa senang dengan kata-kata Pertapa Gotama, dan tidak menyetujuinya, saya bangkit dari duduk saya dan pergi meninggalkannya.”
“Jadi itulah sebabnya, perumah-tangga. Mereka yang kita kasihi, yang kita cintai, (membawa) kebahagiaan dan kesenangan.”
Kemudian, Perumah-tangga tersebut (berpikir), “Saya setuju dengan pendapat penjudi-penjudi itu.’” Lalu ia pergi meninggalkannya.
5. Cerita itu akhirnya sampai ke istana Raja. Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada permaisuri Mallika: “Inilah apa yang telah dikatakan oleh Pertapa Gotama, Mallika: ‘Orang-orang yang kita kasihi, mereka yang kita cintai, (membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan.’ ”
“Jika itu yang dikatakan oleh Sang Buddha, Yang Mulia, maka demikianlah.” “Apapun yang dikatakan oleh Pertapa Gotama, Mallika menghargainya: ‘Jika hal itu telah dikatakan oleh Sang Buddha, Yang Mulia, kemudian itulah jadinya’ (ia berkata), sama seperti seorang murid yang menghargai, apapun yang gurunya katakan kepadanya: ‘Demikianlah jadinya guru, demikian,’ dan demikian juga dengan Mallika apapun yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, engkau menghargainya : ‘Jika itu yang dikatakan oleh Sang Buddha, maka demikianlah jadinya.’ Pergilah Mallika, pergilah kamu!”
6. Kemudian Permaisuri Mallika berkata kepada Nalijangha dari kasta brahmana: “Brahmana, pergilah menghadap Sang Buddha dan berikan penghormatan atas namaku dengan menundukkan kepalamu di kaki-Nya, dan tanyakan apakah Ia bebas dari penderitaan, bebas dari penyakit dan Ia sehat, kuat dan hidup dalam ketenangan, (dengan mengatakan): ‘Yang Mulia, Permaisuri Mallika memberikan hormatnya dengan menundukkan kepalanya di kaki Sang Buddha, dan ia bertanya apakah Sang Buddha bebas dari penderitaan … dan hidup dalam ketenangan, dan berkata begini; ‘Yang Mulia, apakah kata-kata ini telah diucapkan oleh Sang Buddha, “Orang-orang yang kita kasihi, mereka yang kita cintai (membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan?” Pelajarilah dengan baik apa yang dikatakan Sang Buddha dan ceritakan kepada saya; karena Tathagata tidak berbicara tidak benar.”
“Baik, tuan puteri,” ia menjawab; dan ia pergi menghadap kepada Sang Buddha dan saling bertukar hormat dengannya, dan ketika percakapan tegur sapa ini selesai, ia duduk di salah satu sisi. Setelah ia duduk, ia berkata: “Guru Gotama, Permaisuri Mallika memberikan hormatnya dengan menundukkan kepalanya di kaki Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha bebas dari penderitaan, bebas dari sakit, dan sehat, kuat dan hidup dalam ketenangan; dan ia bertanya begini: ‘Yang Mulia, apakah kata-kata ini telah dikatakan Sang Buddha, bahwa mereka yang kita cintai, mereka yang kita kasihi, (membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan?’ ”
7. “Sungguh benar, sungguh. Orang-orang yang kita kasihi, yaitu yang kita sayangi (membawa) kesedihan, ratap, sakit, duka dan keputusasaan.
8. Dapatlah dimengerti dari kejadian ini bagaimana orang-orang yang kita sayangi, mereka yang kita cintai, (membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka dan kecewa (putus asa). Pada suatu ketika di Savatthi ada seorang wanita yang ibunya meninggal. Setelah kematian ibunya, wanita itu hilang ingatannya, dan ia mengembara dari satu jalan ke jalan lain dan dari satu persimpangan ke persimpangan lain, sambil berkata: ‘Pernahkah kamu melihat ibu saya? Pernahkah kamu melihat ibu saya?’
9. Lalu juga dapat dimengerti bagaimana orang-orang yang kita kasihi, mereka yang kita cintai, (membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka dan kecewa. Pada suatu ketika di Savatthi itu juga ada seorang wanita yang ayahnya meninggal ….
10. … yang kakak laki-lakinya meninggal …
11. … yang kakak perempuannya meninggal …
12. … yang anak laki-lakinya meninggal …
13. … yang anak perempuannya meninggal …
14. … yang suaminya meninggal. Setelah suaminya meninggal, ia menjadi tak waras, hilang ingatannya, dan ia mengembara dari satu jalan ke jalan lain dan dari satu persimpangan ke persimpangan lainnya dan berkata: ‘Pernahkah kamu melihat suami saya? Pernahkah kamu melihat suami saya?’
15. Lalu, juga dapat dimengerti bagaimana orang-orang yang terkasih ini, mereka yang kita cintai, (membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka dan kekecewaan: Pada suatu ketika, juga di Savatthi ini ada seorang pria yang ibunya meninggal …
16. … yang ayahnya meninggal …
17. … yang kakak laki-lakinya meninggal …
18. … yang kakak perempuannya meninggal …
19. … yang anak perempuannya meninggal …
20. … yang isterinya meninggal. Setelah kematian isterinya, ia menjadi tak waras, hilang ingatannya, dan ia mengembara dari satu jalan ke jalan lain dan dari satu persimpangan ke persimpangan lain, berkata: ‘Pernahkah kamu melihat isteri saya? Pernahkah kamu melihat isteri saya?’
21. Lalu, dari kejadian ini dapat dimengerti bagaimana orang-orang terkasih itu, mereka yang kita kasihi, (membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka dan kekecewaan. Pada suatu ketika di Savatthi itu juga ada seorang wanita yang menikah dan pergi untuk tinggal bersama keluarga suaminya. Keluarganya ingin menceraikannya dari suaminya dan memberikannya kepada yang lain yang ia tidak kehendaki. Kemudian wanita ini berkata kepada suaminya, ‘Suamiku, keluargaku ingin menceraikan aku dari kamu dan memberikan aku kepada yang lain yang tidak aku inginkan.’ Kemudian, laki-laki ini memotong wanita itu menjadi dua dan ia membunuh diri, ia berpikir, ‘Kita harus bersama-sama mati.’ Dapat juga dimengerti dari kejadian ini bagaimana orang-orang yang kita kasihi, mereka yang kita cintai, (membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka dan kekecewaan.”
22. Kemudian, setelah merasa senang akan kata-kata Sang Buddha dan merasa setuju, Nalijangha dari kasta brahmana bangkit dari duduknya dan menghadap permaisuri Mallika yang kepadanya ia ceritakan pembicaraannya dengan Sang Buddha.
23. Kemudian Permaisuri Mallika pergi kepada Raja Pasenadi dari Kosala dan bertanya: “Bagaimana Yang Mulia memahami hal ini, Paduka. Apakah Putri Vajiri mengasihi Anda?”
“Ya Mallika, Putri Vajiri sayang kepada saya.”
“Bagaimana Anda mengetahui hal ini, Paduka, jika perubahan terjadi dalam diri Puteri Vajiri (akankah hal itu membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka dan kecewa?”
“Perubahan dalam diri Putri Vajiri akan berarti perubahan dalam diri saya. Bagaimana kesedihan dan ratap, sakit, duka cita dan kekecewaan tidak dapat timbul dalam diri saya?”
“Dengan melihat kepada hal tersebut, Paduka, Sang Buddha yang mengetahui dan melihat, seorang Arahat dan seorang yang telah mencapai Penerangan Sempuna, berkata: ‘Orang-orang yang terkasih, mereka yang kita cintai, (membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka cita dan kekecewaan.’
24. Bagaimana Anda memahami hal ini, paduka. Apakah Puteri Vasabha yang agung mengasihi Anda?”
“Ya, Mallika . . . ”
25. ” . . . Apakah Jendral Vidudabha mengasihi Anda?”
“Ya, Mallika . . . ”
26. ” . . . Apakah saya mengasihi Anda, Paduka?”
“Ya, Mallika . . . ”
27. “. . . apakah rakyat Kasi dan Kosala mengasihi Anda?” “Ya Mallika, rakyat Kasi dan Kosala mengasihi saya. Kita berhutang kepada rakyat Kasi dan Kosala, karena kita menggunakan kayu cendana Kasi dan memakai untaian bunganya, wangi-wangiannya dan obat-obatannya.”
“Bagaimana Anda memahami hal ini, Paduka, jika perubahan terjadi pada rakyat Kasi dan Kosala, (akankah hal itu membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka dan kecewa?”
“Sebuah perubahan dalam diri rakyat Kasi dan Kosala akan berarti sebuah perubahan dalam hidup saya. Bagaimana kesedihan dan ratap, sakit, duka cita dan kekecewaan, tidak timbul dalam diri saya?”
“Dengan melihat kepada hal itu, Paduka, Sang Buddha yang mengetahui dan melihat, Seorang Arahat dan Seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna, berkata: ‘Orang yang kita kasihi, mereka yang kita cintai, (membawa) kesedihan dan ratap, sakit, duka cita dan kekecewaan.’ ”
28. “Sungguh bagus, Mallika, luar biasa betapa jauh Sang Buddha menembus ini dengan pengertian dan melihatnya dengan penuh perhatian! Kemarilah Mallika, berikan saya air untuk mencuci.” 1)
Kemudian, Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan mengatur jubah atasnya di atas bahunya, ia mengangkat telapak tangannya bersama-sama mengarah kepada Sang Buddha berada, dan ia berseru tiga kali: “Hormat kepada Sang Buddha, Arahat dan Seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna!”
Catatan :
1) Komentar menyatakan bahwa ia mencuci tangan dan kakinya serta membersihkan mulutnya sebelum ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.