Kamis, 23 Februari 2012

SEKHA SUTTA

1. Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di negeri suku Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.
2. Pada waktu itu baru saja dibangun sebuah aula pertemuan baru untuk suku Sakya di Kapilavatthu, dan bangunan itu belum di huni oleh petapa atau brahmana atau makhluk hidup apa pun. Maka suku Sakya di Kapilavatthu menghadap Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata:
“Yang Mulia, baru saja dibangun sebuah aula pertemuan baru di sini untuk suku Sakya di Kapilavatthu, dan bangunan itu belum dihuni oleh petapa atau brahmana atau makhluk hidup apa pun. Yang Mulia, biarlah Yang Terberkahi menjadi yang pertama menggunakan nya. Setelah Yang Terberkahi menjadi yang pertama menggunakannya, barulah suku Sakya di Kapilavatthu akan menggunakan sesedahnya. Hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.”557 [354]
3. Yang Terberkahi menyetujui dengan cara berdiam diri. Kemudian, setelah melihat bahwa Yang Terberkahi telah setuju, mereka pun bangkit dari tempat duduk mereka. Setelah memberi hormat, dengan menjaga Beliau tetap berada di sebelah kanan, mereka pergi ke aula pertemuan. Mereka menutup seluruhnya dengan kain-kain penutup dan menyiapkan tempat-tempat duduk. Lalu mereka mengeluarkan sebuah bejana air yang besar dan menggantungkan sebuah lampu minyak. Kemudian mereka menghadap Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat kepada Beliau, mereka berdiri di satu sisi dan berkata:
“Yang Mulia, aula pertemuan telah sepenuhnya ditutup denngan kain-kain penutup dan tempat-tempat duduk telah disiapkan, sebuah bejana air yang besar telah dikeluarkan dan sebuah lampu minyak telah digantungkan. Sekaranglah waktunya Yang Terberkahi melakukan apa yang Beliau anggap sesuai.”
4. Maka Yang Terberkahi berpakaian, mengambil mangkuk dan jubah luarnya, lalu Beliau pergi bersama Sangha para bhikkhu ke aula pertemuan. Setelah tiba, Beliau membasuh kakinya dan kemudian masuk ke aula dan duduk di dekat pilar tengah yang menghadap ke timur. Para bhikkhu membasuh kaki mereka dan kemudian masuk ke aula dan duduk di dekat dinding barat menghadap ke timur, dengan Yang Terberkahi di depan mereka. Dan suku Sakya di Kapilavatthu membasuh kaki mereka dan masuk ke aula dan duduk di dekat dinding timur menghadap ke barat, dengan Yang Terberkahi di depan mereka.
5. Kemudian, setelah Yang Terberkahi memberikan instruksi, mendesak, membangkitkan, dan mendorong suku Sakya di Kapilavatthu dengan pembicaraan tentang Dhamma hampir sepanjang malam, Beliau berkata kepada Y.M. Ananda:
“Ananda, berbicaralah kepada suku Sakya di Kapilavattu tentang siswa di dalam pelatihan yang lebih tinggi, yang telah masuk pada Sang Jalan.558 Punggungku tidak nyaman. Aku akan mengistirahatkannya.”
“Ya, Yang Mulia,”jawab Y.M. Ananda.
Kemudian Yang Terberkahi melipat jubah percanya menjadi empat dan berbaring pada sisi kanannya dengan pose singa, dengan satu kaki menumpang kaki lainnya, waspada dan sepenuhnya sadar, setelah mencatat di pikiran kapan waktu untuk bangkit.
6. Kemudian Y.M. Ananda menyapa seorang anggota suku Sakya bernama Mahanama demikian:
“Mahanama, di sini, seorang siswa mulia memiliki moralitas, menjaga pintu-pintu kemampuan inderanya, madya di dalam makan, dan membaktikan diri pada keadaan terjaga; dia memiliki tujuh sifat yang baik; dan dia adalah orang yang, tanpa kesulitan atau kesukaran, akan memperoleh – bila menginginkannya – empat jhana yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan menyediakan tempat berdiam yang menyenangkan di sii dan kini.[355]
7. “Dan bagaimana seorang siswa mulia memiliki moralitas? Di sini, seorang siswa mulia bersifat luhur, dia berdiam dengan terkendali, dengan pengendalian Patimokkha, dia sempurna dalam hal perilaku dan usaha, dan karena melihat ketakutan di dalam kesalahan terkecil pun, dia berlatih dengan cara menjalani peraturan-peraturan pelatihan. Beginilah seorang siswa mulia memiliki moralitas.
8. “Dan bagaimana seorang siswa mulia menjaga pintu-pintu kemampuan inderanya? Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, dia tidak menggenggam padaa tanda-tanda dan cirinya. Karena jika dia membiarkan kemampuan matanya tidak terjaga, keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yaitu ketamakan dan kesedihan mungkin menyerangnya, maka dia mempraktekkan cara pengendaliannya, dia menjaga kemampuan mata, dia menjalankan pengendalian kemampuan mata. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga… Ketika mencium suatu bau dengan hidung… Ketika mengecap suatu citarasa dengan lidah… Ketika menyentuh suatu benda dengan tubuh… Ketika mengkognisi objek-pikiran dengan pikiran, dia tidak menggenggam pada tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena jika dia membiarkan kemampuan pikirannya tidak terjaga, keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik yaitu ketamakan dan kesedihan mungkin menyerangnya, maka dia mempraktekkan cara pengendaliannya, dia menjaga kemampuan pikiran, dia menjalankan pengendalian kemampuan pikiran. Begitulah seorang siswa mulia menjaga pintu-pintu kemampuan inderanya.
9. “Dan bagaimana seorang siswa mulia madya di dalam makan? Di sini, dengan merenung secara bijaksana, seorang siswa mulia mengambil makanan bukan untuk kesenangan, bukan untuk memabukkan, bukan demi keindahan dan daya tarik fisik, melainkan hanya agar tubuh ini bisa bertahan dan berlangsung, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, dan untuk membantu kehidupan suci, dengan mempertimbangkan: ‘Demikian aku harus mengakhiri perasaa-perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan-perasaan baru, dan aku akan sehat dan tak-tercela dan akan hidup dengan nyaman.’ Begitulah seorang siswa mulia madya di dalam makan.
10. “Dan bagaimana seorang siswa mulia membaktikan diri pada keadaan terjaga? Di sini, selama siang hari, sementara sedang berjalan bolak-balik dan duduk, seorang siswa mulia memurnikan pikirannya dari keadaan-keadaan yang menghalangi. Di malam bagian pertama, sementara sedang berjalan bolak-balik dan duduk, dia memurnikan pikirannya dari keadaan-keadaan yang menghalangi. Di malam bagian kedua, dia berbaring pada sisi kanannya dengan pose singa, dengan satu kaki menumpang kaki lainnya, waspada dan sepenuhnya sadar, setelah mencatat di pikiran kapan waktu untuk bangkit. Setelah bangkit, di malam bagian ketiga, sementara sedang berjalan bolak-balik dan duduk, seorang siswa mulia memurnikan pikirannya dari keadaan-keadaan yang menghalangi. Begitulah seorang siswa mulia membangkitkan diri pada keadaan terjaga.
11. “Dan bagaimana seorang siswa mulia memiliki tujuh sifat yang baik? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan; dia menempatkan keyakinannya pada pencerahan Tathagata demikian: ‘Yang Terberkahi telah mantap, sepenuhnya tercerahkan, sempurna di dalam pengetahuan dan perilaku sejati, maha mulia, pengenal dunia-dunia, pemimpin yang tak ada bandingannya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, yang tercerahkan, yang terberkahi.’
12. “Dia tahu malu; dia malu bila salah berperilaku pada tubuh, ucapan, dan pikiran, malu melibat di dalam perbuatan-perbuatan jahat yang tak-bajik.
13. “Dia punya rasa takut pada perbuatan salah; dia takut berperilaku salah pada tubuh, ucapan, dan pikiran, takut terlibat di dalam perbuatan-perbuatan jahat yang tak-bajik.559
14.”Dia telah belajar banyak, mengingat apa yang telah dia pelajari, dan merangkum apa yang telah dia pelajari. Ajaran-ajaran seperti itu indah di awal, indah di tengah, dan indah di akhirnya, dengan arti dan ungkapan yang benar, dan menegaskan kehidupan suci yang sepenuhnya sempurna dan murni ajaran-ajaran yang telah banyak dia pelajari, dia ingat dia hafalkan secara verbal, dia selidiki dengan pikiran dan dia tembus dengan baik oleh pandangan.
15. “Dia bersemangat di dalam meinggalkan keadaan – keadaan yang tak-bajik dan di dalam menjalankan keadaan-keadaan yang bajik; dia kokoh, teguh berjuang, tidak lalai mengembangkan keadaan-keadaan yang bajik.
16. “Dia waspada; dia memiliki kewaspadaan dan ketrampilan tertinggi; dia ingat apa yang telah lama dilakukan dan dikatakannya.560
17. “Dia bijaksana; dia memiliki kebijaksanaan mengenai kemunculan dan kelenyapan yang mulia dan menembus, dan yang membawa pada hancurnya penderitaan sepenuhnya.561 Begitulah seorang siswa mulia memiliki tujuh sifat yang baik.
18. “Dan bagaimana seorang siswa mulia merupakan orang yang, tanpa kesulitan atau kesukaran. Akan memperoleh – bila menginginkannya-empat jhana yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan menyediakan tempat berdiam yang menyenangkan di sini dan kini? Di sini, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang siswa mulia masuk dan berdiam di dalam jhana pertama… Dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dia masuk dan berdiam di dalam jhana kedua… Dengan melemahnya kegiuran juga…dia masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga… Dengan ditinggalkan kesenangan dan penderitaan… dia masuk dan berdiam di dalam jhana keempat, yang memiliki bukan –penderitaan –pun-bukan-kesenangan dan kemurnian kewaspadaan yang disebabkan oleh ketenang-seimbangan. Begitulah seorang siswa mulia merupakan orang yang, tanpa kesulitan atau kesukaran, akan memperoleh – bila kenginginkannya-empat jhana yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan menyediakan tempat berdiam yang menyenangkan di sini dan kini.
19. “Bila seorang siswa mulia telah demikian menjadi orang yang memiliki moralitas, menjaga pintu-pintu kemapuan inderanya, madya di dalam makan, dan membaktikan diri pada keadaan terjaga, memiliki tujuh sifat yang baik, [357] yang, tanpa kesulitan atau kesukaran, akan memperoleh-bila menginginkannya – empat jhana yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan menyediakan tempat berdiam yang menyenangkan di sini dan kini, maka dia disebut orang di dalam pelatihan yang lebih tinggi, yang telah masuk pada Sang Jalan. Telur-telurnya tidak busuk; dia mampu memecah keluar, mampu tercerahkan mampu mencapai keamanan tertinggi yang bebas dari ikatan.
“Seandainya saja ada seekor ayam betina dengan delapan, atau sepuluh, atau duabelas butir telur, yang telah ditutupi, dierami, dan dipelihara dengan benar.562 Walaupun ayam itu tidak mengharap: ‘Oh, semoga anak-anak ayamku bisa menebus kulit telurnya dengan ujung cakarnya dan paruhnya, lalu menetas dengan aman!’ maka tetap saja anak-anak ayam itu akan mampu menebus kulit telurnya dengan ujung cakarnya dan paruhnya, lalu menetas dengan aman. Demikian pula, bila seorang siswa mulia telah demikian menjadi orang yang memiliki moralitas…dia disebut orang di dalam pelatihan yang lebih tinggi, yang telah masuk paada Sang Jalan. Telur-telurnya tidak busuk; dia mampu memecah keluar, mampu tercerahkan, mampu mencapai keamanan tertinggi yang bebas dari ikatan.
20. “Setelah sampai pada kewaspadaan tertinggi yang sama itu, yang kemurniannya disebabkan oleh ketenang-seimbangan,563 maka siswa mulia ini mengingat berbagai kehidupan lampaunya…(seperti Sutta 51,§24)…Demikianlah, bersama dengan berbagai aspek dan ciri khasnya dia mengingat berbagai kehidupan di masa lampaunya. Inilah pemecahan pertamanya seperti halnya pemecahan kulit telur anak-anak ayam itu.
21. “Setelah sampai pada kewaspadaan tertinggi yang sama itu, yang kemurniannya disebabkan oleh ketenang-seimbangan, dengan mata dewa, yang dimurnikan dan melampaui manusia, siswa mulia ini melihat para makhluk lenyap dan muncul kembali…(seperti Sutta 51,§25)…dia memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan-tindakan mereka. Inilah pemecahan kedua seperti halnya pemecahan kulit telur anak-anak ayam itu.
22. “Setelah sampai pada kewaspadaan tertinggi yang sama itu, yang kemurniannya disebabkan oleh ketenang-seimbangan, dengan cara merealisasikan bagi dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung, siswa mulia ini di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran dan pembebasan oleh kebijaksanaan yang tanpa-noda, karena hancurnya noda-noda itu. [358] Inilah pemecatan ketiga seperti halnya pemecahan kulit telur anak-anak ayam itu.564
23. “Ketika seorang siswa mulia memiliki moralitas, itulah perilakunya, Ketika dia menjaga pintu-pintu kemampuan inderanya, itulah perilakunya. Ketika dia madya di dalam makan, itulah perilakunya. Ketika dia membaktikan diri pada keadaan terjaga, itulah perilakunya. Ketika dia memiliki tujuh sifat yang baik, itulah perilakunya. Ketika dia merupakan orang yang, tanpa kesulitan atau kesukaran, akan memperoleh – bila menginginkannya – empat jhana yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan menyediakan tempat berdiam yang menyenangkan di sini dan kini, itulah perilakunya.565
24. “Ketika dia mengingat berbagai kehidupan lampaunya…bersama dengan berbagai aspek dan ciri khasnya, itulah pengetahuan sejatinya. Ketika, dengan mata dewa…dia melihat para makhluk lenyap dan muncul kembali dan memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan-tindakan mereka, itulah pengetahuan sejatinya. Ketika, dengan cara merealisasikan bagi dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung, dia di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran dan pembebasan oleh kebijaksanaan yang tanpa-noda, kaarena hancurnya noda-noda itu, itulah pengetahuan sejatinya.
25. “Siswa mulia ini demikian dikatakan sempurna di dalam pengetahuan sejati, sempurna di dalam perilaku, sempurna didalam pengetahuan dan perilaku sejati. Dan bait ini diucapkan oleh Brahma Sanankumara:
‘Suku Mulia ini dianggap sebagai
Yang terbaik dari antara manusia dalam hal garis keturunannya;
Tetapi yang terbaik di antara para dewa dan manusia adalah
Dia yang sempurna di dalam pengetahuan dan perilaku sejati.’
“Bait itu dinyanyikan dengan baik oleh Brahma Sanankumara, bukannya dinyanyikan dengan buruk; bait itu diucapkan dengan baik, bukannya diucapkan dengan buruk; bait itu mempunyai makna, dan bukannya tanpa-makna; dan bait itu disetujui oleh Yang Terberkahi.”566
26. Kemudian Yang Terberkahi bangkit dan menyapa Y.M. Ananda demikian: “Bagus, bagus, Ananda! Sungguh bagus engkau telah berbicara kepada suku Sakya di Kapilavatthu tentang siswa mulia di dalam pelatihan yang lebih tinggi, yang telah memasuki Sang Jalan.”[359]
Itulah yang dikatakan oleh Y.M. Ananda. Sang Guru menyetujui. Suku Sakya di Kapilavatthu merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Y.M. Ananda.
Catatan :
(557) Pada waktu itu dipercaya bahwa mengundang tokoh penting agama agar menginap setidaknya satu malam sebelum pembangun rumah itu sendiri menghuninya merupakan sumber jasa kebajikan bagi mereka yang membangun tempat tinggal baru. Kepercayaan ini masih berlangsung di negara-negara Buddhis dewasa ini, dan orang-orang yang telah membangun rumah baru bagi diri sendiri sering mengundang para bhikkhu untuk membaca paritta (perlindungan) sutta sepanjang malam di rumah baru mereka sebelum mereka mendiaminya.
(558) Sekho patipado. Mengenai sekha, lihat n.21.
(559) Tentang perbedaan antara rasa malu (hiri) dan rasa takut berbuat salah (ottappa), lihat n. 416.
(560) Di sini, teks menjelaskan sati, kewaspadaan, dengan mengacu pada arti asli ingatan. Hubungan antara dua arti sati-yaitu, ingatan dan perhatian – bisa dirumuskan demikian: perhatian yang kuat terhadap masa-kini membentuk landasan bagi ingatan akurat akan masa-lampau. MA menganggap penyebutan sati di sini menyiratkan semua tujuh factor pencerahan, yang dimulai dengan sati sebagai yang pertama.
(561) MA: Ini kebijaksanaan tentang pandangan-terang dan kebijaksanaan tentang san jalan, yang mampu menembus muncul dan lenyapnya lima khandha (kelompok kehidupan). Kebijaksanaan sang jalan disebut “menembus” (nibbedhika) karena menusuk melalui dan menghapus kumpulan keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin; kebijaksanaan pandangan-terang disebut menembus karena ia menusuk melalui kumpulan itu untuk sementara waktu dan kaarena ia membawa ke penembusan melalui jalan itu.
(562) Seperti di MN 16.26.
(563) Ini mengacu pada jhana keempat, yang merupakan landasan bagi tiga pengetahuan berikutnya.
(564) Pada titik ini, beliau berhenti sebagai sekha dan menjadi Arahat.
(565) Ini memberikan daftar tradisional 15 faktor yang membentuk perilaku (carana), yang sering digabungkan dengan 3 jenis pengetahuan berikutnya di seluruh jalur pelatihan. Keduanya bersama masuk ke dalam julukan bagi Sang Buddha dan Arahat, yaitu vijja-caranasampanna, “sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati.” Lihat Vsm VII,30-31.
(566) Syair ini disetujui oleh Sang Buddha di DN 3.1.28/i.99. Brahma Sanankumara, “Selamanya Muda,” menurut MA adalah seorang pemuda yang mencapai jhana, meninggal, dan terlahir lagi di alam-Brahma, dengan mempertahankan bentuk tampan yang dimiliki semasa kehidupannya di alam manusia. Lihat DN 18.17-29/ii.210-218