1. Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi
sedang berdiam di negeri suku Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.
2. Pada waktu itu baru saja dibangun sebuah aula pertemuan baru
untuk suku Sakya di Kapilavatthu, dan bangunan itu belum di huni oleh
petapa atau brahmana atau makhluk hidup apa pun. Maka suku Sakya di
Kapilavatthu menghadap Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat kepada
Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata:
“Yang Mulia, baru saja dibangun sebuah aula pertemuan baru di sini
untuk suku Sakya di Kapilavatthu, dan bangunan itu belum dihuni oleh
petapa atau brahmana atau makhluk hidup apa pun. Yang Mulia, biarlah
Yang Terberkahi menjadi yang pertama menggunakan nya. Setelah Yang
Terberkahi menjadi yang pertama menggunakannya, barulah suku Sakya di
Kapilavatthu akan menggunakan sesedahnya. Hal itu akan membawa
kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.”557 [354]
3. Yang Terberkahi menyetujui dengan cara
berdiam diri. Kemudian, setelah melihat bahwa Yang Terberkahi telah
setuju, mereka pun bangkit dari tempat duduk mereka. Setelah memberi
hormat, dengan menjaga Beliau tetap berada di sebelah kanan, mereka
pergi ke aula pertemuan. Mereka menutup seluruhnya dengan kain-kain
penutup dan menyiapkan tempat-tempat duduk. Lalu mereka mengeluarkan
sebuah bejana air yang besar dan menggantungkan sebuah lampu minyak.
Kemudian mereka menghadap Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat
kepada Beliau, mereka berdiri di satu sisi dan berkata:
“Yang Mulia, aula pertemuan telah sepenuhnya ditutup denngan
kain-kain penutup dan tempat-tempat duduk telah disiapkan, sebuah
bejana air yang besar telah dikeluarkan dan sebuah lampu minyak telah
digantungkan. Sekaranglah waktunya Yang Terberkahi melakukan apa yang
Beliau anggap sesuai.”
4. Maka Yang Terberkahi berpakaian, mengambil mangkuk dan jubah
luarnya, lalu Beliau pergi bersama Sangha para bhikkhu ke aula
pertemuan. Setelah tiba, Beliau membasuh kakinya dan kemudian masuk ke
aula dan duduk di dekat pilar tengah yang menghadap ke timur. Para
bhikkhu membasuh kaki mereka dan kemudian masuk ke aula dan duduk di
dekat dinding barat menghadap ke timur, dengan Yang Terberkahi di depan
mereka. Dan suku Sakya di Kapilavatthu membasuh kaki mereka dan masuk
ke aula dan duduk di dekat dinding timur menghadap ke barat, dengan
Yang Terberkahi di depan mereka.
5. Kemudian, setelah Yang Terberkahi memberikan instruksi, mendesak,
membangkitkan, dan mendorong suku Sakya di Kapilavatthu dengan
pembicaraan tentang Dhamma hampir sepanjang malam, Beliau berkata
kepada Y.M. Ananda:
“Ananda, berbicaralah kepada suku Sakya di Kapilavattu tentang siswa
di dalam pelatihan yang lebih tinggi, yang telah masuk pada Sang
Jalan.558 Punggungku tidak nyaman. Aku akan mengistirahatkannya.”
“Ya, Yang Mulia,”jawab Y.M. Ananda.
Kemudian Yang Terberkahi melipat jubah percanya menjadi empat dan
berbaring pada sisi kanannya dengan pose singa, dengan satu kaki
menumpang kaki lainnya, waspada dan sepenuhnya sadar, setelah mencatat
di pikiran kapan waktu untuk bangkit.
6. Kemudian Y.M. Ananda menyapa seorang anggota suku Sakya bernama Mahanama demikian:
“Mahanama, di sini, seorang siswa mulia memiliki moralitas, menjaga
pintu-pintu kemampuan inderanya, madya di dalam makan, dan membaktikan
diri pada keadaan terjaga; dia memiliki tujuh sifat yang baik; dan dia
adalah orang yang, tanpa kesulitan atau kesukaran, akan memperoleh –
bila menginginkannya – empat jhana yang merupakan pikiran yang lebih
tinggi dan menyediakan tempat berdiam yang menyenangkan di sii dan
kini.[355]
7. “Dan bagaimana seorang siswa mulia memiliki moralitas? Di sini,
seorang siswa mulia bersifat luhur, dia berdiam dengan terkendali,
dengan pengendalian Patimokkha, dia sempurna dalam hal perilaku dan
usaha, dan karena melihat ketakutan di dalam kesalahan terkecil pun,
dia berlatih dengan cara menjalani peraturan-peraturan pelatihan.
Beginilah seorang siswa mulia memiliki moralitas.
8. “Dan bagaimana seorang siswa mulia menjaga pintu-pintu kemampuan
inderanya? Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, dia tidak
menggenggam padaa tanda-tanda dan cirinya. Karena jika dia membiarkan
kemampuan matanya tidak terjaga, keadaan-keadaan jahat yang tak-bajik
yaitu ketamakan dan kesedihan mungkin menyerangnya, maka dia
mempraktekkan cara pengendaliannya, dia menjaga kemampuan mata, dia
menjalankan pengendalian kemampuan mata. Ketika mendengar suatu suara
dengan telinga… Ketika mencium suatu bau dengan hidung… Ketika mengecap
suatu citarasa dengan lidah… Ketika menyentuh suatu benda dengan tubuh…
Ketika mengkognisi objek-pikiran dengan pikiran, dia tidak menggenggam
pada tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena jika dia membiarkan
kemampuan pikirannya tidak terjaga, keadaan-keadaan jahat yang
tak-bajik yaitu ketamakan dan kesedihan mungkin menyerangnya, maka dia
mempraktekkan cara pengendaliannya, dia menjaga kemampuan pikiran, dia
menjalankan pengendalian kemampuan pikiran. Begitulah seorang siswa
mulia menjaga pintu-pintu kemampuan inderanya.
9. “Dan bagaimana seorang siswa mulia madya di dalam makan? Di sini,
dengan merenung secara bijaksana, seorang siswa mulia mengambil
makanan bukan untuk kesenangan, bukan untuk memabukkan, bukan demi
keindahan dan daya tarik fisik, melainkan hanya agar tubuh ini bisa
bertahan dan berlangsung, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, dan untuk
membantu kehidupan suci, dengan mempertimbangkan: ‘Demikian aku harus
mengakhiri perasaa-perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan-perasaan
baru, dan aku akan sehat dan tak-tercela dan akan hidup dengan nyaman.’
Begitulah seorang siswa mulia madya di dalam makan.
10. “Dan bagaimana seorang siswa mulia membaktikan diri pada keadaan
terjaga? Di sini, selama siang hari, sementara sedang berjalan
bolak-balik dan duduk, seorang siswa mulia memurnikan pikirannya dari
keadaan-keadaan yang menghalangi. Di malam bagian pertama, sementara
sedang berjalan bolak-balik dan duduk, dia memurnikan pikirannya dari
keadaan-keadaan yang menghalangi. Di malam bagian kedua, dia berbaring
pada sisi kanannya dengan pose singa, dengan satu kaki menumpang kaki
lainnya, waspada dan sepenuhnya sadar, setelah mencatat di pikiran
kapan waktu untuk bangkit. Setelah bangkit, di malam bagian ketiga,
sementara sedang berjalan bolak-balik dan duduk, seorang siswa mulia
memurnikan pikirannya dari keadaan-keadaan yang menghalangi. Begitulah
seorang siswa mulia membangkitkan diri pada keadaan terjaga.
11. “Dan bagaimana seorang siswa mulia memiliki tujuh sifat yang
baik? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan; dia menempatkan
keyakinannya pada pencerahan Tathagata demikian: ‘Yang Terberkahi telah
mantap, sepenuhnya tercerahkan, sempurna di dalam pengetahuan dan
perilaku sejati, maha mulia, pengenal dunia-dunia, pemimpin yang tak
ada bandingannya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa
dan manusia, yang tercerahkan, yang terberkahi.’
12. “Dia tahu malu; dia malu bila salah berperilaku pada tubuh,
ucapan, dan pikiran, malu melibat di dalam perbuatan-perbuatan jahat
yang tak-bajik.
13. “Dia punya rasa takut pada perbuatan salah; dia takut
berperilaku salah pada tubuh, ucapan, dan pikiran, takut terlibat di
dalam perbuatan-perbuatan jahat yang tak-bajik.559
14.”Dia telah belajar banyak, mengingat apa yang telah dia pelajari,
dan merangkum apa yang telah dia pelajari. Ajaran-ajaran seperti itu
indah di awal, indah di tengah, dan indah di akhirnya, dengan arti dan
ungkapan yang benar, dan menegaskan kehidupan suci yang sepenuhnya
sempurna dan murni ajaran-ajaran yang telah banyak dia pelajari, dia
ingat dia hafalkan secara verbal, dia selidiki dengan pikiran dan dia
tembus dengan baik oleh pandangan.
15. “Dia bersemangat di dalam meinggalkan keadaan – keadaan yang
tak-bajik dan di dalam menjalankan keadaan-keadaan yang bajik; dia
kokoh, teguh berjuang, tidak lalai mengembangkan keadaan-keadaan yang
bajik.
16. “Dia waspada; dia memiliki kewaspadaan dan ketrampilan tertinggi; dia ingat apa yang telah lama dilakukan dan dikatakannya.560
17. “Dia bijaksana; dia memiliki kebijaksanaan mengenai kemunculan
dan kelenyapan yang mulia dan menembus, dan yang membawa pada hancurnya
penderitaan sepenuhnya.561 Begitulah seorang siswa mulia memiliki tujuh sifat yang baik.
18. “Dan bagaimana seorang siswa mulia merupakan orang yang, tanpa
kesulitan atau kesukaran. Akan memperoleh – bila menginginkannya-empat
jhana yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan menyediakan tempat
berdiam yang menyenangkan di sini dan kini? Di sini, sangat terpisah
dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang
tak-bajik, seorang siswa mulia masuk dan berdiam di dalam jhana
pertama… Dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran yang
bertahan, dia masuk dan berdiam di dalam jhana kedua… Dengan melemahnya
kegiuran juga…dia masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga… Dengan
ditinggalkan kesenangan dan penderitaan… dia masuk dan berdiam di dalam
jhana keempat, yang memiliki bukan –penderitaan –pun-bukan-kesenangan
dan kemurnian kewaspadaan yang disebabkan oleh ketenang-seimbangan.
Begitulah seorang siswa mulia merupakan orang yang, tanpa kesulitan
atau kesukaran, akan memperoleh – bila kenginginkannya-empat jhana yang
merupakan pikiran yang lebih tinggi dan menyediakan tempat berdiam
yang menyenangkan di sini dan kini.
19. “Bila seorang siswa mulia telah demikian menjadi orang yang
memiliki moralitas, menjaga pintu-pintu kemapuan inderanya, madya di
dalam makan, dan membaktikan diri pada keadaan terjaga, memiliki tujuh
sifat yang baik, [357] yang, tanpa kesulitan atau kesukaran, akan
memperoleh-bila menginginkannya – empat jhana yang merupakan pikiran
yang lebih tinggi dan menyediakan tempat berdiam yang menyenangkan di
sini dan kini, maka dia disebut orang di dalam pelatihan yang lebih
tinggi, yang telah masuk pada Sang Jalan. Telur-telurnya tidak busuk;
dia mampu memecah keluar, mampu tercerahkan mampu mencapai keamanan
tertinggi yang bebas dari ikatan.
“Seandainya saja ada seekor ayam betina dengan delapan, atau
sepuluh, atau duabelas butir telur, yang telah ditutupi, dierami, dan
dipelihara dengan benar.562 Walaupun ayam itu tidak
mengharap: ‘Oh, semoga anak-anak ayamku bisa menebus kulit telurnya
dengan ujung cakarnya dan paruhnya, lalu menetas dengan aman!’ maka
tetap saja anak-anak ayam itu akan mampu menebus kulit telurnya dengan
ujung cakarnya dan paruhnya, lalu menetas dengan aman. Demikian pula,
bila seorang siswa mulia telah demikian menjadi orang yang memiliki
moralitas…dia disebut orang di dalam pelatihan yang lebih tinggi, yang
telah masuk paada Sang Jalan. Telur-telurnya tidak busuk; dia mampu
memecah keluar, mampu tercerahkan, mampu mencapai keamanan tertinggi
yang bebas dari ikatan.
20. “Setelah sampai pada kewaspadaan tertinggi yang sama itu, yang kemurniannya disebabkan oleh ketenang-seimbangan,563
maka siswa mulia ini mengingat berbagai kehidupan lampaunya…(seperti
Sutta 51,§24)…Demikianlah, bersama dengan berbagai aspek dan ciri
khasnya dia mengingat berbagai kehidupan di masa lampaunya. Inilah
pemecahan pertamanya seperti halnya pemecahan kulit telur anak-anak ayam
itu.
21. “Setelah sampai pada kewaspadaan tertinggi yang sama itu, yang
kemurniannya disebabkan oleh ketenang-seimbangan, dengan mata dewa,
yang dimurnikan dan melampaui manusia, siswa mulia ini melihat para
makhluk lenyap dan muncul kembali…(seperti Sutta 51,§25)…dia memahami
bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan-tindakan
mereka. Inilah pemecahan kedua seperti halnya pemecahan kulit telur
anak-anak ayam itu.
22. “Setelah sampai pada kewaspadaan tertinggi yang sama itu, yang
kemurniannya disebabkan oleh ketenang-seimbangan, dengan cara
merealisasikan bagi dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung, siswa
mulia ini di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam pembebasan
pikiran dan pembebasan oleh kebijaksanaan yang tanpa-noda, karena
hancurnya noda-noda itu. [358] Inilah pemecatan ketiga seperti halnya
pemecahan kulit telur anak-anak ayam itu.564
23. “Ketika seorang siswa mulia memiliki moralitas, itulah
perilakunya, Ketika dia menjaga pintu-pintu kemampuan inderanya, itulah
perilakunya. Ketika dia madya di dalam makan, itulah perilakunya.
Ketika dia membaktikan diri pada keadaan terjaga, itulah perilakunya.
Ketika dia memiliki tujuh sifat yang baik, itulah perilakunya. Ketika
dia merupakan orang yang, tanpa kesulitan atau kesukaran, akan
memperoleh – bila menginginkannya – empat jhana yang merupakan pikiran
yang lebih tinggi dan menyediakan tempat berdiam yang menyenangkan di
sini dan kini, itulah perilakunya.565
24. “Ketika dia mengingat berbagai kehidupan lampaunya…bersama
dengan berbagai aspek dan ciri khasnya, itulah pengetahuan sejatinya.
Ketika, dengan mata dewa…dia melihat para makhluk lenyap dan muncul
kembali dan memahami bagaimana para makhluk berlanjut sesuai dengan
tindakan-tindakan mereka, itulah pengetahuan sejatinya. Ketika, dengan
cara merealisasikan bagi dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung,
dia di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran dan
pembebasan oleh kebijaksanaan yang tanpa-noda, kaarena hancurnya
noda-noda itu, itulah pengetahuan sejatinya.
25. “Siswa mulia ini demikian dikatakan sempurna di dalam
pengetahuan sejati, sempurna di dalam perilaku, sempurna didalam
pengetahuan dan perilaku sejati. Dan bait ini diucapkan oleh Brahma
Sanankumara:
‘Suku Mulia ini dianggap sebagai
Yang terbaik dari antara manusia dalam hal garis keturunannya;
Tetapi yang terbaik di antara para dewa dan manusia adalah
Dia yang sempurna di dalam pengetahuan dan perilaku sejati.’
“Bait itu dinyanyikan dengan baik oleh Brahma Sanankumara, bukannya
dinyanyikan dengan buruk; bait itu diucapkan dengan baik, bukannya
diucapkan dengan buruk; bait itu mempunyai makna, dan bukannya
tanpa-makna; dan bait itu disetujui oleh Yang Terberkahi.”566
26. Kemudian Yang Terberkahi bangkit dan menyapa Y.M. Ananda
demikian: “Bagus, bagus, Ananda! Sungguh bagus engkau telah berbicara
kepada suku Sakya di Kapilavatthu tentang siswa mulia di dalam
pelatihan yang lebih tinggi, yang telah memasuki Sang Jalan.”[359]
Itulah yang dikatakan oleh Y.M. Ananda. Sang Guru menyetujui. Suku
Sakya di Kapilavatthu merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata
Y.M. Ananda.
Catatan :
(557) Pada waktu itu dipercaya bahwa mengundang tokoh penting agama
agar menginap setidaknya satu malam sebelum pembangun rumah itu sendiri
menghuninya merupakan sumber jasa kebajikan bagi mereka yang membangun
tempat tinggal baru. Kepercayaan ini masih berlangsung di
negara-negara Buddhis dewasa ini, dan orang-orang yang telah membangun
rumah baru bagi diri sendiri sering mengundang para bhikkhu untuk
membaca paritta (perlindungan) sutta sepanjang malam di rumah baru
mereka sebelum mereka mendiaminya.
(558) Sekho patipado. Mengenai sekha, lihat n.21.
(559) Tentang perbedaan antara rasa malu (hiri) dan rasa takut berbuat salah (ottappa), lihat n. 416.
(560) Di sini, teks menjelaskan sati, kewaspadaan, dengan mengacu
pada arti asli ingatan. Hubungan antara dua arti sati-yaitu, ingatan
dan perhatian – bisa dirumuskan demikian: perhatian yang kuat terhadap
masa-kini membentuk landasan bagi ingatan akurat akan masa-lampau. MA
menganggap penyebutan sati di sini menyiratkan semua tujuh factor
pencerahan, yang dimulai dengan sati sebagai yang pertama.
(561) MA: Ini kebijaksanaan tentang pandangan-terang dan
kebijaksanaan tentang san jalan, yang mampu menembus muncul dan
lenyapnya lima khandha (kelompok kehidupan). Kebijaksanaan sang jalan
disebut “menembus” (nibbedhika) karena menusuk melalui dan menghapus
kumpulan keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin; kebijaksanaan
pandangan-terang disebut menembus karena ia menusuk melalui kumpulan itu
untuk sementara waktu dan kaarena ia membawa ke penembusan melalui
jalan itu.
(562) Seperti di MN 16.26.
(563) Ini mengacu pada jhana keempat, yang merupakan landasan bagi tiga pengetahuan berikutnya.
(564) Pada titik ini, beliau berhenti sebagai sekha dan menjadi Arahat.
(565) Ini memberikan daftar tradisional 15 faktor yang membentuk
perilaku (carana), yang sering digabungkan dengan 3 jenis pengetahuan
berikutnya di seluruh jalur pelatihan. Keduanya bersama masuk ke dalam
julukan bagi Sang Buddha dan Arahat, yaitu vijja-caranasampanna,
“sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati.” Lihat Vsm VII,30-31.
(566) Syair ini disetujui oleh Sang Buddha di DN 3.1.28/i.99. Brahma
Sanankumara, “Selamanya Muda,” menurut MA adalah seorang pemuda yang
mencapai jhana, meninggal, dan terlahir lagi di alam-Brahma, dengan
mempertahankan bentuk tampan yang dimiliki semasa kehidupannya di alam
manusia. Lihat DN 18.17-29/ii.210-218