Minggu, 19 Februari 2012

Mahāsatipaṭṭhāna Sutta (DN 22)

[290] 1.1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di antara para Kuru. Di sana terdapat sebuah kota-pasar yang disebut Kammāsadhamma.2 Dan di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu!’ ‘Bhagavā,’ mereka menjawab, dan Sang Bhagavā berkata: ‘Ada, para bhikkhu, satu jalan3 ini untuk memurnikan makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan kesusahan, untuk melenyapkan kesakitan dan kesedihan,4 untuk memperoleh jalan benar,5 untuk mencapai Nibbāna:-yaitu, empat landasan perhatian.’6
‘Apakah empat itu? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu7 berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani,8 tekun, dengan kesadaran jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan keinginan dan belenggu dunia;9 ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan10 …; ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran;11 ia berdiam merenungkan objek-pikiran sebagai objek-pikiran,12 tekun, dengan kesadaran jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan keinginan dan belenggu dunia.’ [291]

(PERENUNGAN JASMANI)

(1. Perhatian pada pernafasan)
2. ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke tempat sunyi,13 duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah menegakkan perhatian di depannya.14 Dengan penuh perhatian, ia menarik nafas, dengan penuh perhatian, ia mengembuskan nafas.15 Menarik nafas panjang, ia mengetahui bahwa ia menarik nafas panjang,16 dan mengembuskan nafas panjang, ia mengetahui bahwa ia mengembuskan nafas panjang. Menarik nafas pendek, ia mengetahui bahwa ia menarik nafas pendek, dan mengembuskan nafas pendek, ia mengetahui bahwa ia mengembuskan nafas pendek. Ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan menarik nafas, menyadari seluruh jasmani.”17 Ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan mengembuskan nafas, menyadari seluruh jasmani.” Ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan menarik nafas, menenangkan seluruh proses jasmani.”18 Ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan mengembuskan nafas, menenangkan seluruh proses jasmani.” Bagaikan seorang akrobatik terampil atau pembantunya, dalam melakukan putaran panjang, tahu bahwa ia melakukan putaran panjang, atau dalam melakukan putaran pendek, tahu bahwa ia melakukan putaran pendek, demikian pula seorang bhikkhu, dalam menarik nafas panjang, tahu bahwa ia menarik nafas panjang, … dan demikianlah ia melatih dirinya, berpikir: “Aku akan mengembuskan nafas, menenangkan seluruh jasmani.”’ [292]

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal,19 merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena20 di dalam jasmani. Ia berdiam merenungkan lenyapnya fenomena21 di dalam jasmani. Ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena di dalam jasmani. Atau, penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran.22 Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

(2. Empat postur)

3. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, ketika sedang berjalan, mengetahui bahwa ia sedang berjalan, ketika sedang berdiri, mengetahui bahwa ia sedang berdiri, ketika sedang duduk, mengetahui bahwa ia sedang duduk, ketika sedang berbaring, mengetahui bahwa ia sedang berbaring. Dalam cara bagaimanapun jasmaninya diposisikan, ia mengetahui sebagaimana adanya.’
‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal …. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

(3. Kesadaran jernih)

4. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, ketika berjalan maju atau mundur, sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan,23 dalam melihat ke depan atau ke belakang, ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, dalam menunduk dan menegakkan badan, ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, dalam membawa jubah dalam dan luarnya dan mangkuknya, ia sadar atas apa yang sedang ia lakukan, dalam makan, minum, mengunyah, dan menelan, ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, dalam buang air besar atau buang air kecil, ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, dalam berjalan, berdiri, duduk, tertidur, dan bangun dari tidur, dalam berbicara atau berdiam diri, ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan.’ [293]
‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal …. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

(4. Perenungan menjijikkan: Bagian-bagian tubuh)

5. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa24 jasmani ini dari telapak kaki ke atas dan dari kulit kepala ke bawah, terbungkus oleh kulit dan dipenuhi kotoran: “Di dalam jasmani ini terdapat rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit,25 daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, selaput pengikat organ dalam, usus besar, perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air seni.”26 Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, padi, kacang hijau,27 kacang merah, wijen, beras merah, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya, dapat mengatakan: ”Ini adalah beras-gunung, padi, kacang hijau, kacang merah, wijen, beras merah,” demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini: “Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … [294] air seni.”’
‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal …. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

(5. Empat Unsur)

6. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini, bagaimanapun posisinya, dalam hal unsur-unsur: “Terdapat dalam jasmani ini, unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-angin.”28 Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau pembantunya, setelah menyembelih seekor sapi,29 duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dibagi dalam beberapa bagian, demikianlah seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini … dalam hal unsur-unsur: “Terdapat dalam jasmani ini, unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-angin.”’
‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal …. [295] Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

(6. Sembilan perenungan tanah pekuburan)

7. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan,30 satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, berubah warna, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”’
‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’
8. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, dimakan oleh burung gagak, elang atau nasar, oleh anjing atau serigala, atau berbagai binatang lainnya, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”’ [296]
9. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, kerangka tulang-belulang dengan daging dan darah, dirangkai oleh urat, … kerangka tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, dirangkai oleh urat, … kerangka tulang-belulang yang tanpa daging dan darah, dirangkai oleh urat, … tulang-belulang yang tersambung secara acak, berserakan di segala penjuru, tulang lengan di sini, tulang-kaki di sana, tulang-kering di sini, tulang-paha di sana, tulang-panggul di sini, [297] tulang-punggung di sini, tulang-tengkorak di sana, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu ….’
10. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, tulangnya memutih, terlihat seperti kulit-kerang …, tulang-belulangnya menumpuk, setelah setahun …, tulang-belulangnya hancur menjadi bubuk, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”’

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam jasmani, merenungkan lenyapnya fenomena dalam jasmani, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam jasmani. Atau, penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

(PERENUNGAN PERASAAN)

11. ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan?31 Di sini, seorang bhikkhu yang sedang merasakan perasaan menyenangkan mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan menyenangkan;32 merasakan perasaan menyakitkan, ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan menyakitkan;33 merasakan perasaan yang-bukan-menyenangkan juga-bukan-menyakitkan, ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan yang-bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan;34 merasakan perasaan indria yang menyenangkan, ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan indria yang menyenangkan;35 merasakan perasaan non-indria yang menyenangkan, ia mengetahui bahwa ia merasakan perasaan non-indria yang menyenangkan;36 merasakan perasaan indria yang menyakitkan …; merasakan perasaan non-indria yang menyakitkan …; merasakan perasaan indria yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan …; merasakan perasaan non-indria yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan non-indria yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.’

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal. Ia merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal37 …. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam perasaan, lenyapnya fenomena, serta muncul dan lenyapnya fenomena dalam perasaan. [299] Atau, penuh perhatian bahwa “ada perasaan” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan.’

(PERENUNGAN PIKIRAN)

12. ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran?38 Di sini, seorang bhikkhu mengetahui pikiran penuh nafsu sebagai penuh nafsu, pikiran yang bebas dari nafsu sebagai bebas dari nafsu; pikiran membenci sebagai membenci, pikiran yang bebas dari kebencian sebagai bebas dari kebencian; pikiran yang menipu sebagai menipu, pikiran yang tidak menipu sebagai tidak menipu; pikiran mengerut sebagai mengerut,39 pikiran kacau sebagai pikiran kacau,40 pikiran terkembang sebagai terkembang,41 pikiran yang tidak terkembang sebagai tidak terkembang;42 pikiran yang terlampaui sebagai terlampaui,43 pikiran tidak terlampaui sebagai tidak terlampaui;44 pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi,45 pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi;46 pikiran terbebas sebagai terbebas,47 pikiran tidak terbebas sebagai tidak terbebas.’

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal. Ia merenungkan pikiran sebagai pikiran secara eksternal48 …. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam pikiran …. Atau, penuh perhatian bahwa “ada pikiran” muncul dalam dirinya [300] hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran.’

(PERENUNGAN OBJEK-OBJEK PIKIRAN)

13. ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran?’49

(1. Lima Rintangan)

‘Di sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan lima rintangan. Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, para bhikkhu, jika keinginan-indria50 hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa keinginan-indria hadir. Jika keinginan-indria tidak ada dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa keinginan-indria tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana keinginan-indria yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan keinginan-indria yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keinginan-indria yang telah disingkirkan.51’ ‘Jika kebencian52 hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa kebencian hadir …. Dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari kebencian.’
‘Jika ketumpulan dan kelambanan53 hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa ketumpulan dan kelambanan hadir …. Dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari ketumpulan dan kelambanan.’
‘Jika kekhawatiran dan kegelisahan54 hadir dalam dirinya, seorang [301] bhikkhu mengetahui bahwa kekhawatiran dan kegelisahan hadir …. Dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari kekhawatiran dan kegelisahan.’
‘Jika keragu-raguan55 hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa keragu-raguan hadir. Jika keragu-raguan tidak ada dalam dirinya, ia mengetahui bahwa keragu-raguan tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana keragu-raguan yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan keragu-raguan yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari keragu-raguan yang telah disingkirkan.’

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal …. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam objek-objek pikiran56 …. Atau, penuh perhatian bahwa “ada objek-objek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan lima rintangan.’

(2. Lima gugus)

14. ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan lima gugus kemelekatan.57 Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu berpikir: “Demikianlah bentuk,58 demikianlah munculnya bentuk, demikianlah lenyapnya bentuk; demikianlah perasaan, demikianlah munculnya perasaan, demikianlah lenyapnya perasaan; demikianlah persepsi,59 demikianlah munculnya persepsi, demikianlah lenyapnya persepsi; demikianlah bentukan-bentukan batin,60 [302] demikianlah munculnya bentukan-bentukan batin, demikianlah lenyapnya bentukan-bentukan batin; demikianlah kesadaran,61 demikianlah munculnya kesadaran, demikianlah lenyapnya kesadaraan.’

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal …. Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan lima gugus kemelekatan.’

(3. Enam Landasan Indria Internal dan Eksternal)

15. ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan enam landasan-indria internal dan eksternal.62 Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui mata, mengetahui objek-objek penglihatan,63 dan ia mengetahui belenggu apa pun yang muncul bergantung pada kedua hal ini.64 Dan ia mengetahui bagaimana belenggu yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana melepaskan belenggu yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan belenggu yang telah dilepaskan itu akan muncul di masa depan. Ia mengetahui telinga dan suara-suara …. Ia mengetahui hidung dan bau-bauan …. Ia mengetahui badan65 dan objek-objek sentuhan …. Ia mengetahui pikiran dan mengetahui objek-objek pikiran, dan ia mengetahui [303] belenggu apa pun yang muncul bergantung pada kedua hal ini. Dan ia mengetahui bagaimana belenggu yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana melepaskan belenggu yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan belenggu yang telah dilepaskan itu akan muncul di masa depan.’

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal …. Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan enam landasan indria internal dan eksternal.’

(4. Tujuh Faktor Penerangan Sempurna)

16. ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan tujuh faktor penerangan sempurna.66 Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, para bhikkhu, jika faktor penerangan sempurna perhatian hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui kehadirannya. Jika faktor penerangan sempurna perhatian tidak hadir dalam dirinya, ia mengetahui ketidakhadirannya. Dan ia mengetahui bagaimana faktor penerangan sempurna perhatian yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana kesempurnaan dari pengembangan faktor penerangan sempurna perhatian itu muncul. Jika faktor penerangan sempurna penyelidikan kondisi-kondisi67 hadir dalam dirinya …. Jika faktor penerangan sempurna usaha68 hadir dalam dirinya …. Jika faktor penerangan sempurna kegembiraan69 hadir dalam dirinya …. [304] Jika faktor penerangan sempurna ketenanga70 hadir dalam dirinya …. Jika faktor penerangan sempurna konsentrasi hadir dalam dirinya …. jika faktor penerangan sempurna keseimbangan hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui kehadirannya. Jika faktor penerangan sempurna keseimbangan tidak hadir dalam dirinya, ia mengetahui ketidakhadirannya. Dan ia mengetahui bagaimana faktor penerangan sempurna keseimbangan yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana kesempurnaan dari pengembangan faktor penerangan sempurna keseimbangan itu muncul.’

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal …. Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan tujuh faktor penerangan sempurna.’

(5. Empat Kebenaran Mulia)

17. ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah asal-mula penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah lenyapnya penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.”’
18. 71’Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, usia-tua adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, dukacita adalah penderitaan, ratapan adalah penderitaan, kesakitan adalah penderitaan, kesedihan dan kesusahan adalah penderitaan. Berkumpul dengan yang tidak dicintai adalah penderitaan, berpisah dari yang dicintai adalah penderitaan, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, lima gugus kemelekatan72 adalah penderitaan.’ ‘Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? Makhluk apa pun juga, kelompok makhluk apa pun juga, ada kelahiran, akan datang, kedatangan, kemunculan gugus-gugus, mendapatkan enam landasan.73 Itu, para bhikkhu, adalah yang disebut kelahiran.’
‘Dan apakah usia-tua? Makhluk apa pun juga, kelompok makhluk apa pun juga, mengalami usia-tua, jompo, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, mengerut seiring usia, indria-indria melemah, itu, para bhikkhu, disebut usia-tua.’
‘Dan apakah kematian? Makhluk apa pun juga, kelompok makhluk apa pun juga, ada, mengalami kematian, musnah, terputus, lenyap, meninggal dunia, sekarat, berakhir, terputusnya gugus-gugus, lepasnya jasmani, itu, para bhikkhu, disebut kematian.’
‘Dan apakah dukacita? Ketika, karena kemalangan apa pun juga, [306] seseorang terpengaruh oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan, berduka, berkabung, bersusah hati, kesedihan di dalam, kesengsaraan di dalam, itu, para bhikkhu, disebut dukacita.’
‘Dan apakah ratapan? Ketika, karena kemalangan apa pun juga, seseorang terpengaruh oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan dan menjadi menangis, mengeluh, meraung karena sedih, meratap, itu, para bhikkhu, disebut ratapan.’
‘Dan apakah kesakitan? Perasaan sakit apa pun pada jasmani, perasaan tidak menyenangkan pada jasmani, perasaan sakit atau tidak menyenangkan yang muncul dari kontak jasmani, itu, para bhikkhu, disebut kesakitan.’
‘Dan apakah kesedihan?74 Perasaan sakit apa pun pada batin, perasaan tidak menyenangkan pada batin, perasaan sakit atau tidak menyenangkan yang muncul dari kontak batin, itu, para bhikkhu, disebut kesedihan.’
‘Dan apakah kesusahan? Ketika, karena kemalangan apa pun juga, seseorang terpengaruh oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan, bersusah hati, kesusahan besar, didera oleh kesusahan, oleh kesusahan besar, itu, para bhikkhu, disebut kesusahan.75
‘Dan apakah, para bhikkhu, berkumpul dengan yang tidak dicintai? Di sini, siapa pun yang tidak diinginkan, tidak disukai, objek-penglihatan, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-sentuhan atau objek-pikiran yang tidak menyenangkan, atau siapa pun yang bertemu dengan orang yang mengharapkan kemalangannya, orang yang mengharapkan kecelakaannya, ketidaknyamanannya, ketidakamanannya, yang dengan mereka ia berkumpul, bergaul, berhubungan, bergabung, itu, para bhikkhu, disebut berkumpul dengan yang tidak dicintai.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, berpisah dengan yang dicintai? Di sini, siapa pun yang diinginkan, disukai, objek-penglihatan, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-sentuhan atau objek-pikiran yang menyenangkan, atau siapa pun yang bertemu dengan orang yang mengharapkan kesejahteraannya, orang yang mengharapkan kebaikannya, kenyamanannya, keamanannya, ibu atau ayah atau saudara laki-laki atau perempuan atau sanak saudara atau sahabat atau kerabat-sedarah, dan kemudian direnggut dari kebersamaan, pergaulan, hubungan, gabungan demikian, itu, para bhikkhu, disebut berpisah dari yang dicintai.’ [307]
‘Dan apakah tidak mendapatkan apa yang diinginkan? Dalam diri makhluk-makhluk yang mengalami kelahiran, para bhikkhu, keinginan ini muncul: “Oh, seandainya kita tidak mengalami kelahiran, seandainya kita tidak dilahirkan!” Tetapi hal ini tidak mungkin dicapai hanya dengan menginginkan. Ini adalah tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam diri makhluk-makhluk yang mengalami usia-tua, penyakit,76 dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesusahan muncul keinginan ini: “Oh, seandainya kita tidak mengalami usia-tua, …, kesusahan, seandainya kita tidak bertemu dengan hal-hal ini!” Tetapi hal-hal ini tidak mungkin dicapai hanya dengan menginginkan. Ini adalah tidak mendapatkan apa yang diinginkan.’ ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, singkatnya, lima gugus kemelekatan adalah penderitaan? Yaitu sebagai berikut: gugus kemelekatan bentuk, gugus kemelekatan perasaan, gugus kemelekatan persepsi, gugus kemelekatan bentukan-bentukan batin, gugus kemelekatan kesadaran.77 Ini adalah, singkatnya, lima gugus kemelekatan adalah penderitaan. Dan itu, para bhikkhu, disebut Kebenaran Mulia Penderitaan.’ [308]
19. ‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Asal-mula Penderitaan? Yaitu, keinginan78 yang memunculkan kelahiran,79 yang bergabung dengan kesenangan dan nafsu, mencari kenikmatan baru di sana-sini: dengan kata lain keinginan-indria, keinginan akan penjelmaan, dan keinginan akan pemusnahan.80
‘Dan di manakah keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya? Di mana pun di dunia ini terdapat hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.’
‘Dan apakah di dunia ini, hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati? Mata di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, telinga …, hidung …, lidah …, badan …, pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya. Pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Kontak-mata,81 kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya. Perasaan yang muncul dari kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Persepsi penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Kehendak sehubungan dengan penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Keinginan akan pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Awal-pikiran82 yang tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.
Kelangsungan-pikiran83 yang tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengukuhkan dirinya.’
20. ‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Lenyapnya Penderitaan? Yaitu peluruhan total dan padamnya keinginan ini, melepaskan dan meninggalkan, kebebasan darinya, terlepas darinya.84 Dan bagaimanakah keinginan ini ditinggalkan, bagamanakah lenyapnya ini muncul?’ ‘Di mana pun di dunia ini terdapat hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, di sana lenyapnya ini muncul. Dan apakah di dunia ini, hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati?’
‘Mata di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, telinga …, hidung …, lidah …, badan …, pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah keinginan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya muncul. Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah keinginan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya muncul.
Pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah keinginan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya muncul.
Kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran …; [311] Persepsi penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran …; kehendak sehubungan dengan penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran …; Keinginan akan pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran …; Awal-pikiran yang tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran …; Kelangsungan-pikiran yang tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah keinginan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya muncul. Dan itu, para bhikkhu, disebut Lenyapnya Penderitaan.’
21. ‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Jalan Praktik Menuju Lenyapnya Penderitaan? Yaitu, Jalan Mulia berfaktor Delapan, yaitu: Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, Konsentrasi Benar.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, Pandangan Benar?85 [312] yaitu, para bhikkhu, pengetahuan tentang penderitaan, pengetahuan tentang asal-mula penderitaan, pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan, dan pengetahuan tentang praktik menuju lenyapnya penderitaan. Ini disebut Pandangan Benar.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, Pikiran Benar?86 Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran ketidakbencian, pikiran ketidakkejaman. Ini, para bhikkhu, disebut Pikiran Benar.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, Ucapan Benar? Menghindari berbohong, menghindari fitnah, menghindari ucapan kasar, menghindari kata-kata yang tidak berguna. Ini disebut Ucapan Benar.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, Perbuatan Benar? Menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah. Ini disebut Perbuatan Benar.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, Penghidupan Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang Siswa Ariya, setelah meninggalkan penghidupan salah, mempertahankan hidupnya dengan Penghidupan Benar.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, Usaha Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu membangkitkan kehendak, mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya dan berusaha untuk mencegah munculnya kondisi batin buruk yang belum muncul. Ia membangkitkan kehendak … dan berusaha untuk mengatasi kondisi batin buruk yang telah muncul. Ia membangkitkan kehendak … dan berusaha untuk memunculkan kondisi batin baik yang belum muncul. Ia membangkitkan kehendak, mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya dan berusaha untuk mempertahankan kondisi batin baik yang telah muncul, tidak membiarkannya memudar, menumbuhkan lebih besar, hingga sempurna dalam pengembangan. Ini disebut Usaha Benar.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, Perhatian Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, sadar jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan segala keserakahan dan cengkeraman terhadap dunia; ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan …; ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran …; ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, sadar jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan segala keserakahan dan cengkeraman terhadap dunia. Ini disebut Perhatian Benar.’
‘Dan apakah, para bhikkhu, Konsentrasi Benar? Di sini, seorang bhikkhu, terlepas dari keinginan-indria, terlepas dari kondisi batin yang buruk, memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran yang muncul dari pelepasan, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan melenyapkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dengan mencapai ketenangan di dalam dan keterpusatan pikiran, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang tanpa awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan meluruhnya kegirangan, tetap tidak terganggu, penuh perhatian dan sadar jernih, ia mengalami dalam dirinya apa yang dikatakan oleh Para Mulia: “Bahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian,” ia memasuki jhāna ke tiga. Dan, setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian. Ini disebut Konsentrasi Benar. Dan itu, para bhikkhu, disebut jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan.’

(PANDANGAN TERANG)

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, [314] merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara eksternal, berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam objek-objek pikiran, merenungkan lenyapnya fenomena dalam objek-objek pikiran, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam objek-objek pikiran. Atau, penuh perhatian bahwa “ada objek-objek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.’

(KESIMPULAN)

22. ‘Siapa pun, para bhikkhu, yang mempraktikkan Empat Landasan Perhatian ini selama tujuh tahun dapat mengharapkan satu dari dua hasil ini: mencapai kesucian Arahat dalam kehidupan ini atau, jika masih ada beberapa kekotoran tersisa, mencapai kondisi Yang-Tidak-Kembali. Jangankan tujuh tahun – siapa pun yang mempraktikkannya selama enam tahun …, lima tahun …, empat tahun …, tiga tahun …, dua tahun …, satu tahun dapat mengharapkan satu dari dua hasil …; jangankan satu tahun-siapa pun yang mempraktikkannya selama tujuh bulan …, enam bulan …, lima bulan …, empat bulan …, tiga bulan …, dua bulan …, [315] satu bulan …, setengah bulan dapat mengharapkan satu dari dua hasil …; jangankan setengah bulan-siapa pun yang mempraktikkan Empat Landasan Perhatian ini selama tujuh hari dapat mengharapkan satu dari dua hasil ini: mencapai kesucian Arahat dalam kehidupan ini atau, jika masih ada beberapa kekotoran tersisa, mencapai kondisi Yang-Tidak-Kembali.’
‘Dikatakan: “Ada, para bhikkhu, satu jalan ini untuk memurnikan makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan kesusahan, untuk melenyapkan kesakitan dan kesedihan, untuk memperoleh jalan yang benar untuk mencapai Nibbāna:-yaitu, empat landasan perhatian” dan untuk alasan inilah, hal tersebut dikatakan.’
Demikianlah khotbah Sang Bhagavā, dan para bhikkhu senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau.
  • 1. Ini secara umum dianggap sebagai Sutta paling penting dari keseluruhan Pali Canon. Muncul persis sama dalam MN 10 dengan judul Satipaṭṭhāna Sutta, dengan menghilangkan paragraf 18-21. Naskah ini (atau yang dari MN 10) telah berkali-kali diterjemahkan secara terpisah, antara lain oleh Soma Thera dengan judul The Way of Mindfulness (2nd ed. Colombo 1949, 3rd ed. BPS, 1967). Buku penting The Heart of Buddhist Meditation oleh Nyāṇaponika Mahāthera (Colombo 1954), London 1973 dan setelahnya) intinya adalah berasal dari Sutta ini dan mengandung terjemahan, bukan saja dari Sutta ini tetapi juga dari naskah-naskah yang berhubungan dari Pali Canon dan dari sumber-sumber Mahāyāna (khususnya Siksāsamuccaya oleh Sāntideva). Penjelasan penulis dalam pendahuluan juga harus diperhatikan bahwa: ‘Di antara aliran-aliran Mahāyāna di timur jauh, terutama adalah Ch’an dari China dan Zen dari Jepang yang paling mendekati pada inti dari Satipaṭṭhāna. Meskipun demikian, perbedaan dalam metode, tujuan, dan konsep filosofis dasar, hubungan dengan Satipaṭṭhāna adalah dekat dan kuat, dan sangat disesalkan bahwa hubungan ini tidak ditekankan atau bahkan diperhatikan.’ Bagaimanapun juga, harus disebutkan bahwa sejak kata-kata itu dituliskan, kenyataan mulai muncul bahwa Zen memiliki banyak kesamaan dengan Theravada secara umum, dan metode Satipaṭṭhāna khususnya – agak mengejutkan beberapa pihak yang sangat menekankan ‘keunikan’ Zen.
  • 2. Atau Kammāsadhamma. Untuk penjelasan atas konstruksi ini, baca DN 15, n.319.
  • 3. Ekāyano maggo: kadang-kadang diterjemahkan ‘jalan tunggal’ atau ‘jalan satu-satunya’ dengan, sedikit makna konotatif terunggul. DA sebenarnya mengusulkan beberapa kemungkinan, dengan demikian menunjukkan bahwa para komentator masa lalu tidak sepenuhnya yakin atas makna yang tepat. Ekāyana dapat diterjemahkan secara harfiah, ‘satu kepergian’, yang membingungkan. Ñāṇamoli mengartikan ‘jalan yang menuju hanya ke satu arah’. Bagaimanapun juga, jangan dibingungkan oleh istilah yang ditemukan dalam Buddhisme Sanskrit ekayāna ‘satu kendaraan’ atau ‘karir’.
  • 4. Domanassa: dalam konteks ini, biasanya diterjemahkan ‘kesedihan’, tetapi cf. DN 21, n.609.
  • 5. Ñāya: ‘mengarahkan, menuntun’ (kadang-kadang = ‘logika’). Di sini = ‘jalan benar’.
  • 6.Satipaṭṭhānā: Ini mungkin merupakan kata gabungan dari sati +upaṭṭhāna (secara harfiah, ‘meletakkan di dekat’), seperti dalam versi Sanskrit (Smrty-upasthāna Sūtra). ‘Landasan’, meskipun digunakan oleh Nyānaponika dan lain-lainnya, sesungguhnya adalah terjemahan pengganti. Bagaimanapun juga, apapun asal-usul katanya, makna yang tersirat cukup jelas dari instruksi-instruksi yang terdapat di dalamnya.Sati (Skt. Smrti) aslinya berarti ‘ingatan’ (dan masih demikian, namun jarang, dalam Pali). Arti ‘perhatian’ oleh RD adalah gagasan cemerlang yang hampir digunakan secara universal (walaupun kadang-kadang dijumpai ‘ingatan’ atau ‘renungan’). Penggunaan ‘Pengendalian-diri’ oleh A.K. Warder dalam bukunya Indian Buddhism sangat disesalkan. Mungkin harus disebutkan bahwa dalam Buddhisme Sanskrit, kata smrti jelas berbeda dengan smrti dalam Hindu ‘tradisi oral’.
  • 7. Bhikkhu: Namun di sini, menurut DA, berlaku bagi siapa pun yang melakukan praktik ini.
  • 8. Kāye kāyānupassī viharati: secara harfiah, ‘merenungkan jasmani dalam jasmani’, dan dengan pengulangan yang serupa untuk tiga ‘landasan’ lainnya. ‘Mengapakah kata “jasmani” digunakan dua kali dalam “merenungkan jasmani dalam jasmani”? Untuk menentukan objeknya dan mengisolasinya.’ (DA). Ñāṇamoli mengatakan: ‘Ini berarti agar tidak bingung, pada saat meditasi, antara jasmani dengan perasaan, pikiran, dan sebagainya. Jasmani direnungkan hanya sebagai jasmani, perasaan sebagai perasaan, dan sebagainya.’
  • 9. Saya telah berusaha untuk menghindari terjemahan biasa ‘iri hati dan kesedihan’ untuk memberikan makna sebenarnya. Topik ini dikembangkan sepenuhnya dalam paragraf 19.
  • 10. Vedanā adalah perasaan (jasmani atau batin) dalam makna dasarnya ‘sensasi’, menyenangkan, menyakitkan, atau netral. Patut disesalkan bahwa Warder telah memilih ‘emosi’ untuk kata ini, yang bukan maknanya yang benar.
  • 11. Citta: ‘pikiran’ atau, secara metafora, ‘hati’. Baca paragraf 12.
  • 12. Dhamma (jamak): satu dari makna standar dari istilah ini (baca BDic).
  • 13. Atau ‘ruang kosong’.
  • 14. Yaitu, pada nafas di depannya, sesuai DA. Nyāṇaponika mengatakan: ‘menjaga … perhatiannya waspada’. Para pembaca Some saying of the Buddha oleh F.L. Woodward harus memerhatikan bahwa tidak ada dasar untuk catatan kaki ‘Berkonsentrasi antara kedua alis’.
  • 15. Ini mungkin adalah makna dari assasati, passasati, walaupun mungkin istilah ini seharusnya dibalik. Catatan kaki Ñāṇamoli: ‘Latihan yang dijelaskan adalah dalam pengamatan batin, bukan dalam pengembangan jasmani atau pengendalian nafas seperti dalam Hatha-yoga’ mungkin perlu untuk mengingatkan.
  • 16. Secara harfiah, ‘Ia mengetahui: “Aku menarik nafas panjang”’, dan seterusnya. Pali selalu menggunakan kalimat langsung dalam kasus-kasus demikian.
  • 17. Ini seharusnya berarti ‘Seluruh tubuh nafas’. “Mengenali, melihat dengan jelas, awal, tengah, dan akhir dari seluruh tubuh nafas dalam ….”’ (DA, terjemahan Soma Thera).
  • 18. Kāya-sankhāra. Proses penenangan ini akan mengarah menuju pengembangan jhāna, tetapi ini bukanlah tujuan utama di sini.
  • 19. Secara internal berarti ‘jasmani diri sendiri’ dan secara eksternal berarti ‘jasmani orang lain’.
  • 20. Samudaya-dhammā. Samudaya adalah, mungkin penting, kata yang digunakan untuk ‘asal-mula’ penderitaan dalam Kebenaran Mulia Ke dua. Kesadaran atas bagaimana fenomena (jasmani, dan sebagainya) dimaksudkan. Ñāṇamoli mengartikan ‘merenungkan jasmani dalam faktor-faktor yang memunculkannya’.
  • 21. Vaya-dhammā: Ñāṇamoli mengartikan ‘merenungkan jasmani dalam faktor-faktor yang melenyapkannya’.
  • 22. Hanya mempertahankan pikiran dalam pikiran tanpa berspekulasi, pikiran-mengembara, dan sebagainya.
  • 23. Sampajāna-kārī hoti: ‘berbuat dengan berkesadaran jernih’ (Horner). Terjemahan RD ‘pengendalian-diri’ untuk sampajañña (dikutip, bahkan lebih aneh lagi, untuk sati oleh Warder) tidak berlaku di sini.
  • 24. Paccavekkhati. bentuk kata kerja yang sama digunakan dalam paccavekkhaṇa-ñāṇa ‘pengetahuan pemeriksaan’.
  • 25. Lima pertama ini digunakan sebagai meditasi standar bagi para samaṇera.
  • 26. Dengan tambahan ‘otak’ , 32 bagian tubuh ini termasuk dalam subyek meditasi: cf. VM 8.42ff.
  • 27. Phaseolus Mungo.
  • 28. Cf. n.70.
  • 29. Gambaran yang tidak menyenangkan, dilebih-lebihkan untuk para pembaca barat yang mempertimbangkan aspek higienis! Ini menunjukkan bahwa tidak ada sapi suci pada masa Sang Buddha.
  • 30. ‘Pekuburan’, disukai oleh beberapa penerjemah, memberikan kesan yang sama sekali salah: ini adalah tempat pembuangan mayat yang telah membusuk – tempat yang baik untuk meditasi jenis ini.
  • 31. Cf. n.633, juga, untuk pengulangan, n.631.
  • 32. Sukhaṁ vedanaṁ: ini dapat berupa jasmani atau batin.
  • 33. Dukkhaṁ vedanaṁ: ini juga dapat berupa jasmani atau batin.
  • 34. Adukkhamasukhaṁ vedanaṁ: ini hanya batin. Dalam semua kasus, seseorang hanya menyadari bahwa perasaan hadir.
  • 35. Sāmisaṁ sukham vedanaṁ. Sāmisa = sa-āmisa: secara harfiah, ‘dengan daging’, mendekati makna ‘jasmaniah’.
  • 36. Nirāmisaṁ sukhaṁ vedanaṁ: ‘bukan jasmaniah’ atau ‘spiritual’ (sebuah kata yang ingin dihindari oleh umat Buddha karena memungkinkan untuk terjadi kesalahpahaman). Dalam MN 137, sāmisa dan nirāmisa merujuk pada kehidupan ‘rumah tangga’ dan pada meninggalkan keduniawian.
  • 37. Ia menduga, atau mengetahui melalui telepati, perasaan makhluk lain, dan kemudian merenungkan perasaannya sendiri dan makhluk lain bergantian.
  • 38. Citta: juga diterjemahkan ‘pikiran’ atau ‘kesadaran’. Dari kalimat-kalimat selanjutnya, jelas bahwa yang dimaksudkan adalah berbagai kondisi pikiran. Sedangkan perasaan, seseorang hanya sekadar menyadari apakah kondisi-kondisi batin tertentu hadir atau tidak.
  • 39. Sankhittaṁ cittaṁ: (dari kata kerja sakhipati: cf. sankhittena ‘secara singkat’): pikiran yang ’mengerut’ atau ‘menyusut’ karena ketumpulan-dan-kelambanan (paragraf 13) atau yang serupa.
  • 40. Vikhittaṁ cittaṁ: pikiran yang kacau karena kekhawatiran-dan-kegelisahan (paragraf 13).
  • 41. Mahaggataṁ: ‘tumbuh besar’ melalui jhāna yang rendah atau yang lebih tinggi.
  • 42. ‘Tidak tumbuh besar’, tidak terkembang oleh jhāna-jhāna.
  • 43. Sa-uttaraṁ: ‘(kondisi-kondisi pikiran lain) melampauinya’, sinonim dengan pikiran ‘yang tidak terkembang’.
  • 44. An-uttaraṁ: ‘tidak ada pikiran lain yang melampauinya’, sepertinya merujuk pada kesadaran luhur, tetapi oleh DA dirujuk pada kondisi-kondisi duniawi, oleh karena itu bersinonim dengan pikiran ‘yang terkembang’. Dalam pandangan pengulangan pada dua kasus terakhir, seorang mungkin bertanya-tanya apakah penjelasan komentarial itu benar atau tidak.
  • 45. Samāhitaṁ: belum mencapai samādhi, yaitu pencerapan jhāna.
  • 46. Belum mencapai pencerapan yang dimaksud.
  • 47. Vimuttaṁ. Ini disebutkan oleh DA untuk menjelaskan pikiran yang untuk sementara ‘bebas’ baik melalui pandangan terang maupun melalui jhāna, yang menekan kekotoran-kekotoran. Bukan, tentu saja, pembebasan permanen. ‘Tidak ada kebebasan melalui pemotongan, ketenangan-akhir (paṭi-passadhi) dan jalan membebaskan diri akhir (nissaraṇa): dengan kata lain, kita membahas alam duniawi bagi mereka yang masih pemula dalam meditasi’.
  • 48. Seperti dalam n.660.
  • 49. Dhammā (cf. n.635). Pertanyaan ini kadang-kadang ditanya sehubungan dengan hubungan dari empat landasan perhatian dengan skema lima gugus (khandha). Inti yang dijelaskan oleh DA di sini adalah: perenungan jasmani sehubungan dengan gugus-gugus jasmani atau bentuk (rūpakkhandha); perenungan perasaan sehubungan dengan gugus perasaan (vedanākkhandha); perenungan pikiran sehubungan dengan gugus kesadaran (viññāṇa-kkhandha); dan perenungan objek-objek pikiran sehubungan dengan gugus persepsi dan bentukan-bentukan batin (saññā-, sankhāra-kkhandha).
  • 50. Kāma-cchanda. Istilah yang berbeda dari pernyataan pertama dalam paragraf 12, yang merujuk pada pikiran yang bernafsu (sarāgaṁ cittaṁ), tetapi ada sedikit perbedaan dalam makna. Keduanya merujuk pada keinginan-indria secara umum, termasuk namun tidak terbatas pada keinginan-seksual. Menurut DA, ini muncul dari refleksi keliru atas objek-objek yang menyenangkan bagi indria. Dalam paragraf 12, latihan hanya untuk memerhatikankan adanya kondisi pikiran demikian, jika ada. Di sini ia pergi lebih jauh lagi, dan menyelidiki bagaimana kondisi demikian muncul, dan bagaimana ia dapat melepaskannya, dan sebagainya.
  • 51. DA memberikan enam metode untuk melepaskan diri dari kenikmatan-indria: (1) ‘Perenungan benar’ atas objek yang tidak menyenangkan (asubha); (2) Mengembangkan jhāna, yang dengannya rintangan ditekan; (3) Menjaga indria-indria; (4) Makan secukupnya; (5) Dukungan ‘teman-teman baik’ (kalyāṇa-mittatā); (6) Percakapan yang membantu (sappāyakathā).
  • 52. Vyāpāda.
  • 53. Thīna-midha. Penangkal utama dari masalah ini adalah ‘persepsi cahaya’.
  • 54. Uddhacca-kukkucca.
  • 55. Vicikicchā. Ini termasuk keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan juga ketidakmampuan dalam membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan sebagainya (cf. DN 1.2.24), yaitu, skeptis dan kebimbangan.
  • 56. Faktor-faktor yang mendukung munculnya rintangan-rintangan dan pelenyapannya. Mengenai rintangan-rintangan ini, baca The Five Mental Hindrances, oleh Nyāṇaponika Thera, Wheel Publ., BPS 1961.
  • 57. Pañc’upādāna-kkhandhā: ‘5 aspek yang disimpulkan oleh Sang Buddha dari seluruh fenomena keberadaan jasmani dan batin, dan yang oleh si dungu dianggap sebagai Ego, atau diri, yaitu: (1) Kelompok jasmani (rūpa-kkhandha) [di sini disebut ‘bentuk’], (2) Perasaan (vedanā), (3) Persepsi (saññā), (4) Bentukan-batin (sankhāra), (5) Kesadaran (viññāṇa-kkhandha)’ (BDic).
  • 58. Rūpa: Secara singkat didefinisikan dalam SN 22.56 sebagai ‘Empat Unsur Utama dan jasmani bergantung pada empat ini’.
  • 59. Saññā. Didefinisikan dalam SN 22.79 sebagai ‘membedakan sesuatu dari tanda-tandanya’
  • 60. Sankhāra-kkhandha. Istilah sankhāra memiliki berbagai makna dan banyak terjemahan. Di sini, yang dimaksud adalah kelompok bentukan-bentukan batin. Secara konvensional berjumlah lima puluh, mencakup berbagai faktor, termasuk apa yang kita sebut emosi (yaitu reaksi kamma, baik atau buruk). Yang paling penting adalah kehendak (cetanā), landasan bagi kamma.
  • 61. Viññāṇa: yang dikelompokkan menurut masing-masing dari enam indria, pikiran sebagai yang ke enam.
  • 62. Untuk penjelasan lengkap, baca BDic pada bagian āyatana. Terdiri dari, seperti terlihat pada kalimat-kalimat selanjutnya, landasan-indria (yaitu, mata, pikiran) dan objeknya (objek-objek penglihatan, objek-objek pikiran).
  • 63. Rūpe (bentuk jamak dari rūpa dalam pengertian khusus di sini): ‘bentuk-bentuk terlihat, objek-objek penglihatan’.
  • 64. Sepuluh belenggu dijelaskan, yang sedikit berbeda dari apa yang dijelaskan sehubungan dengan pencapaian tingkat Memasuki-Arus, dan lain-lain, seperti yang terdapat dalam Abhidhamma. Yaitu: indriawi, Kemarahan (paṭigha), keangkuhan (māna), pandangan (salah) (diṭṭhi), keragu-raguan (vicikicchā), keinginan akan penjelmaan (bhavarāga), kemelekatan pada upacara dan ritual (sīlabbata-parāmāsa), kecemburuan (issa), kekikiran (macchariya), dan kebodohan.
  • 65. Di sini, ‘badan’ adalah kāya dalam pengertian khusus ‘organ-badan’, yaitu dalam landasan kontak sentuhan. Baca BDic untuk penjelasan lebih lanjut.
  • 66. Dijelaskan secara terperinci dalam, misalnya MN 118.
  • 67. Dhamma-vicaya: kadang-kadang diartikan ‘penyelidikan Dhamma’, tetapi makna yang lebih tepat adalah ‘penyelidikan atas fenomena jasmani dan batin’.
  • 68. Viriya: Ini berhubungan dengan Usaha Benar dalam Jalan Mulia berfaktor Delapan.
  • 69. Pīti: istilah yang diterjemahkan dalam berbagai variasi. Baca n.81.
  • 70. Passaddhi.
  • 71. Paragraf 18-21 tidak selaras dengan versi MN 10.
  • 72. Cf. n.680.
  • 73. Ayatanānaṁ paṭilābho. Menurut formula sebab akibat yang bergantungan, enam landasan indria ini bergantung pada batin-dan-jasmani.
  • 74. Domanassa.
  • 75. Upāyāsa: biasanya diterjemahkan ’keputusasaan’, yang tidak selaras dengan yang didefinisikan di sini atau dalam PED. ‘Keputusasaan’ berarti kehilangan harapan, yang tidak disebutkan di sini.
  • 76. Vyādhi: Dihilangkan dalam sebagian besar MSS mengenai definisi di awal paragraf ini, walaupun penyakit adalah jelas merupakan penyebab penderitaan, dan muncul dalam konteks lain, penghilangan ini mungkin tidak disengaja, mungkin mencerminkan kesalahan dalam tradisi pembaca Dīgha (para bhāṇaka), seperti tidak diragukan bertanggung jawab dalam penghilangan enam landasan indria dalam DN 15. Baca n.323 di sana.
  • 77. Cf. n.680.
  • 78. Taṇhā.
  • 79. Ponobhavikā: secara harfiah, ‘menyebabkan lagi – menjelma’.
  • 80. Vibhava-taṇhā: Vibhava berarti (1) ‘kekuatan, keberhasilan, kekayaan’, dan beberapa penerjemah secara keliru mengartikan di sini; (2) ‘tidak menjelma’, yaitu pemadaman. Tidak diragukan, ini adalah maknanya di sini. Namun vibhava yang dimaksudkan di sini bukanlah ‘pelenyapan’ yang lebih tinggi Nibbāna, tetapi ‘pemadaman’ jasmani pada saat kematian (cf. ‘keinginan untuk mati’ Freud).
  • 81. Cakkhu-samphassa: melakukan kontak mata dengan objek (-penglihatan).
  • 82. Vitakka: cf. n.611.
  • 83. Vicāra: cf. n.611.
  • 84. Yang menarik, ini diserahkan kepada komentar untuk menunjukkan bahwa makna positif dari ini adalah Nibbāna.
  • 85. Sammā-diṭṭhi. Ini, atau ‘Melihat dengan Benar’ adalah terjemahan harfiah (‘Penglihatan Benar’ adalah terjemahan yang tidak bijaksana, karena dapat menyebabkan kesalahpahaman!). Diṭṭhi di sini adalah berbentuk tunggal, dan berarti ‘melihat segala sesuatu sebagaimana adanya’, sedangkan ‘pandangan-pandangan’ dalam bentuk jamak adalah selalu keliru. Harus diperhatikan bahwa jika tidak diawali sammā, maka diṭṭhi berarti ‘opini spekulatif’, dan sejenisnya, yang tidak berdasarkan pada ‘melihat segala sesuatu sebagaimana adanya’. Lawan dari sammā-diṭṭhi adalah micchā-diṭṭhi, suatu istilah yang umumnya ditujukan pada pandangan-pandangan merusak. Sammā-diṭṭhi dan seterusnya kadang-kadang diterjemahkan sebagai ‘pandangan sempurna’, dan seterusnya, tetapi ini hanya merujuk pada jalan adiduniawi seperti dijelaskan dalam MN 117.
  • 86. Samma-sankappa: berbagai variasi terjemahan ‘cita-cita benar, motif benar’, dan lain-lain.

Tidak ada komentar: