Jumat, 02 Maret 2012

Jacchanda

BAB 6
LAHIR BUTA

6.1 Melepaskan Kekuatan-kehidupan.
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Vesali, di Hutan Besar, di Aula Rumah Yang Atapnya Berjendela. Kemudian sebelum siang hari, Sang Bhagava, sesudah mengenakan jubah dan membawa mangkuk dan jubah luarNya, memasuki Vesali untuk mengumpulkan dana makanan. Sesudah berjalan di Vesali untuk mengumpulkan dana makanan dan kembali, setelah bersantap, beliau berkata kepada Yang Ariya Ananda: [1] “Ambillah tikar, Ananda. Saya akan pergi ke tempat pemujaan Capala [2] untuk masa tengah hari.”
“Baiklah, Yang Mulia,” Yang Ariya Ananda menjawab, dan setelah mengambil tikar ia mengikuti Sang Bhagava dari dekat.
Kemudian Sang Bhagava mendekati tempat pemujaan Capala dan ketika sudah sampai, duduk di tempat duduk yang sudah disediakan. Duduk di sana, Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Ananda: “Menyenangkan, Ananda, Vesali ini. Menyenangkan tempat pemujaan Udena, tempat pemujaan Gotamaka, tempat pemujaan Sattamba, tempat pemujaan Bahaputta, tempat pemujaan Sarandada, dan tempat pemujaan Capala. [3] Bila siapapun, Ananda, sudah mengembangkan dan mencapai empat dasar pencapaian [4] yang sukses …. dan membuat keempatnya sebagai alat, membuatnya sebagai dasar, membangun, memadukan dan dengan benar mempraktekkannya, orang itu dapat, jika dia inginkan, hidup melebihi jangka waktu kehidupannya (sepenuhnya) [5] atau apa yang tersisa dari jangka waktu hidupnya. Sang Tathagata, Ananda, sudah mengembangkan dan mengolah keempat dasar pencapaian yang sukses itu ….. dan dengan benar melatihnya, dan jika menginginkannya, Sang Tathagata dapat hidup melebihi jangka waktu kehidupannya (sepenuhnya) atau apa yang tersisa dari jangka waktu hidupnya.”
Tetapi walaupun petunjuk yang sedemikian luas itu telah dibuat oleh Sang Bhagava, petunjuk yang sedemikian jelas, Yang Ariya Ananda belum dapat memahaminya. Dan dia tidak memohon kepada Sang Bhagava (dengan mengatakan): “Bhante, biarlah Sang Bhagava hidup melampaui jangka waktu kehidupan Nya (sepenuhnya), biarlah Sugata hidup melampaui jangka kehidupannya (sepenuhnya), demi kesejahteraan banyak orang, untuk kebahagiaan banyak orang, karena kasih sayangnya terhadap dunia, untuk kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia,” karena pikirannya dikuasai oleh Mara. [6]
Untuk kedua dan ketiga kalinya Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Ananda, dengan mengatakan: “Menyenangkan, Ananda, Vesali …. Sang Tathagata dapat hidup melampaui jangka waktu kehidupannya (sepenuhnya) atau apa yang tersisa dari jangka waktu hidupnya.”
Tetapi untuk kedua dan ketiga kalinya Yang Ariya Ananda tidak dapat memahaminya ….. karena pikirannya dikuasai oleh Mara.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Ananda: “Lakukanlah apa yang kamu pikir sudah waktunya dilakukan.”
“Baiklah, Bhante,” Yang Ariya Ananda menjawab; dan bangkit dari tempat duduknya, ia bersujud di hadapan Sang Bhagava, dan tetap menghadapkan sisi kanannya pada Sang Bhagava, ia pergi dan duduk di kaki pohon tertentu yang tidak jauh dari tempat itu.
Kemudian, tidak lama setelah kepergian Yang Ariya Ananda, Mara, si jahat mendekati Sang Bhagava. Berdiri di satu sisi, Mara, si jahat berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, biarlah Sang Bhagava sekarang memperoleh Nibbana Akhir, biarlah Sugata mencapai Nibbana Akhir. Sekaranglah waktunya, bhante, untuk pencapaian Nibbana Akhir Sang Bhagava. Kata-kata ini, bhante, dulu diucapkan oleh Sang Bhagava: [7] ‘Saya tidak akan mencapai Nibbana Akhir, Mara Jahat, sampai para bhikkhu pengikutku bijaksana, disiplin, percaya diri, mencapai keadaan aman dari keterikatan, [8] terpelajar, ahli dalam Dhamma, berlatih menurut Dhamma, berlatih dengan cara yang benar, hidup dengan mengikuti Dhamma; tidak juga, sampai, setelah mempelajari (nya) dari guru-guru mereka, mereka akan (dapat) mengumumkan, mengajar, menyatakan, membangun, mengungkapkan, membabarkan dan menjelaskan (itu kepada yang lain); tidak juga sampai menyangkal Dhamma dengan teori-teori yang muncul dari orang-orang lain (orang luar), mereka akan (dapat) mengajar Dhamma yang menyakinkan.’ Tetapi sekarang, Bhante, para bhikkhu pengikut Sang Bhagava sudah bijaksana ….. dan (dapat) mengajarkan Dhamma yang menyakinkan. Biarlah, Bhante, Sang Bhagava sekarang mencapai Nibbana Akhir, biarlah Sang Sugata mendapatkan Nibbana Akhir. Sudah waktunya sekarang, Bhante, untuk Nibbana Akhir Sang Bhagava.
“Kata-kata ini, Bhante, dulu diucapkan oleh Sang Bhagava: ‘Saya tidak akan mencapai Nibbana Akhir, Mara jahat, sampai para bhikkhuni pengikutku bijaksana ….. dan (dapat) mengajarkan Dhamma yang menyakinkan. Saya tidak akan mencapai Nibbana Akhir sampai pengikut awam pria ….. pengikut awam wanita yang merupakan pengikutku sudah bijaksana …. dan (dapat) mengajarkan Dhamma yang menyakinkan.’ Tetapi sekarang Bhante, para bhikkhuni pengikut Sang Bhagava ….. pengikut awam pria dan wanita yang merupakan murid-murid Sang Bhagava sudah bijaksana ….. dan (dapat) mengajarkan Dhamma yang menyakinkan. Biarlah sekarang Sang Bhagava mencapai Nibbana Akhir, biarlah Sang Sugata mencapai Nibbana Akhir. Bhante, sudah waktunya sekarang untuk Nibbana Akhir Sang Bhagava.
“Kata-kata ini dulu diucapkan oleh Sang Bhagava: ‘Saya tidak akan mencapai Nibbana Akhir, Mara jahat, sampai kehidupan suciku ini sudah berhasil dan berkembang, tersebar luas dan terbabar di antara banyak orang, sampai kehidupan suciku terinci dengan baik di antara para dewa dan manusia.’ Tetapi sekarang, Bhante, kehidupan suci Sang Bhagava sudah berhasil dan berkembang, tersebar luas dan terbabar di antara banyak orang, kehidupan suci itu telah terinci dengan baik di antara para dewa dan manusia. Sudah waktunya sekarang, Bhante, untuk Nibbana Akhir Sang Bhagava.
Setelah hal itu diucapkan, Sang Bhagava berkata pada Mara si jahat: “Kamu boleh merasa puas, Mara jahat. Tak akan lama lagi Nibbana Akhir Sang Tathagata. Tiga bulan dari sekarang Sang Tathagata akan mencapai Nibbana Akhir.”
Pada saat itulah, di tempat pemujaan Capala, Sang Bhagava, dengan waspada dan sadar penuh, melepaskan kekuatan-kehidupan Nya. Dan ketika Sang Bhagava melepaskan kekuatan kehidupan Nya, terjadilah gempa bumi yang hebat dan suara gemuruh guntur mengoyak udara, menakutkan dan menegakkan bulu roma.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Menimbang hal itu yang tidak bisa diukur dengan dumadi, [9]
Sang Pertapa melepaskan keinginan untuk keberadaan:
Di dalam kebahagiaan dan ketenangan ia memisahkan
Keberadaan pribadi seperti bungkus surat.

6.2. Pertapa-Pertapa Jatila
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Taman Timur, di Rumah Induk Ibu Migara. Pada saat itu Sang Bhagava bangkit dari meditasi Nya di sore hari dan duduk di luar pintu gerbang. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala mendekati Sang Bhagava, bersujud, dan duduk di satu sisi.
Pada saat itu, tidak jauh dari Sang Bhagava, lewatlah tujuh pertapa Jatila, tujuh Niganta (Jaina), tujuh pertapa telanjang, tujuh pertapa berpakaian-tunggal, dan tujuh pengembara, semuanya dengan tubuh berambut dan kuku panjang dan membawa (kebutuhan mereka di dalam) satu bungkusan pada tongkat di bahunya. [10] Raja Pasenadi dari Kosala melihat mereka (kelompok-kelompok) yang semuanya bertujuh orang itu lewat tidak jauh dari Sang Bhagava. Ketika melihat mereka, raja itu bangkit dari duduknya, mengatur jubahnya di satu bahu, berjongkok dengan lutut kanannya di tanah, dan mengangkat tangannya yang berlipat ke arah mereka (kelompok) yang bertujuh orang itu. Dia mengumumkan namanya tiga kali demikian: “Tuan-tuan, Yang Mulia, saya Raja Pasenadi dari Kosala.” Kemudian, segera sesudah kepergian kelompok-kelompok bertujuh itu, Raja Pasenadi dari Kosala mendekati Sang Bhagava lagi, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, mungkinkah salah satu dari mereka itu adalah satu di antara mereka-mereka di dunia yang merupakan Arahat atau yang sudah memasuki jalan menuju Arahat?”
“Raja Yang Agung, sebagai seorang awam yang menikmati kenikmatan indriya, yang hidup di rumah dengan beban anak, yang menggunakan wewangian cendana dari Kasi, [11] yang memakai karangan bunga, bau-bauan dan bedak-bedak, dan yang memiliki emas dan perak, sulitlah bagi Baginda untuk tahu apakah mereka ini Arahat atau apakah mereka sudah memasuki jalan menuju Arahat. Dengan hidup bersama orang itulah maka kebajikannya dapat diketahui, Baginda, dan kemudian hanya sesudah jangka waktu yang lama, bukannya sesudah jangka waktu pendek; dan hanya dengan mempertimbangkannya, bukannya tanpa pertimbangan; dan hanya oleh orang yang bijaksana, bukan oleh orang tolol. Dengan bergaul dengan orang itulah maka kejujurannya [12] dapat diketahui …… Di dalam kesengsaraanlah, keuletan seseorang akan diketahui ….. Melalui diskusi dengan orang itulah, maka kebijaksanaanya dapat diketahui, Raja Yang Agung, dan hanya sesudah jangka waktu yang lama, bukan sesudah jangka waktu yang pendek; dan hanya dengan mempertimbangkannya, bukannya tanpa pertimbangan; dan hanya oleh orang yang bijaksana, bukan oleh orang tolol.”
“Luar biasa, Bhante! Hebat sekali, Bhante! Alangkah bagusnya hal ini dikatakan oleh Bhante. Mereka itu, Bhante, adalah orang-orang saya yang menyamar, [13] para pencari data yang kembali dari pengintaian dari suatu negara. Data-data pertama dikumpulkan oleh mereka dan sesudah itu saya akan membuat keputusan. Sekarang, Bhante, setelah mereka membersihkan diri dari debu dan lumpur, sudah mandi bersih dan pakai wewangian, dan sudah memotong rambut dan jenggot mereka dan memakai pakaian putih, [14] mereka akan diberi dan disediakan lima macam kenikmatan indriya.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Seseorang seharusnya tidak berusaha kemana-mana, [15]
Seseorang seharusnya tidak bekerja pada orang lain.
Seseorang seharusnya tidak hidup tergantung kepada yang lain,
Seseorang seharusnya tidak membuat bisnis Dhamma.

6.3. Pemeriksaan
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava duduk memeriksa berbagai keadaan yang tidak bermanfaat dan telah ditinggalkan oleh beliau dan juga berbagai keadaan yang bermanfaat yang telah terwujud nyata melalui perkembangan batin (meditasi).
Kemudian, karena menyadari bahwa berbagai macam keadaan yang tidak bermanfaat yang telah ditinggalkan oleh beliau dan berbagai keadaan yang bermanfaat yang telah terwujud nyata melalui perkembangan batin (meditasi), Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Apa yang dulunya ada, kemudian tidak lagi;
Apa yang dulunya tidak ada, kemudian ada;
Apa yang dulunya ada, tidak akan ada lagi;
Dan sekarangpun tidak ada. [16]

6.4. Berbagai Aliran (1)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu ada sejumlah pertapa dan brahmana, pengembara dari berbagai macam aliran, yang hidup di sekitar Savatthi. Dan mereka mempunyai berbagai pandangan, berbagai kepercayaan, berbagai pendapat, dan mereka menggantungkan dukungan mereka dari berbagai pandangan mereka itu. Ada beberapa brahmana dan pertapa yang memastikan dan berpegang pada pandangan ini: “Dunia ini kekal; hanya ini yang benar, dan (pandangan) lainnya salah.” Ada beberapa pertapa dan brahmana yang bersikeras: “Dunia ini tidak kekal; hanya ini yang benar, (pandangan) lainnya salah.” Ada beberapa yang bersikeras: “Dunia ini terbatas;….. Dunia ini tidak terbatas; ….. Jiwa kehidupan dan tubuh itu sama; ….. Jiwa kehidupan clan tubuh itu berbeda; …. Sang Tathagata ada di luar jangkauan kematian; ….. Sang Tathagata ada tetapi tidak berada di luar jangkauan kematian; ….. Sang Tathagata ada dan sekaligus tidak ada di luar jangkauan kematian; ….. Sang Tathagata bukannya ada dan bukannya tidak ada di luar jangkauan kematian; hanya ini yang benar, dan (pandangan) lainnya salah.” [17] Dan mereka, hidup bertengkar, penuh perselisihan dan penuh percekcokkan, saling menyakiti dengan ucapan-ucapan kasar, dengan mengatakan: “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma tidak seperti itu! Dhamma tidak seperti ini, Dhamma seperti itu!”
Pada saat itu sejumlah bhikkhu, sesudah memakai jubahnya sebelum siang hari dan membawa mangkok dan jubah luarnya, memasuki Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Sesudah berjalan di Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan dan selesai bersantap, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: “Pada saat ini Bhante ada sejumlah pertapa dan brahmana pengembara dari berbagai aliran, yang tinggal di sekitar Savatthi. Dan mereka mempunyai berbagai pandangan ….. mengatakan: ‘Dhamma adalah seperti ini!…. Dhamma adalah seperti itu !’”
“Para pengembara dari aliran-aliran lain, para bhikkhu, adalah buta, tidak melihat. Mereka tidak tahu apa yang menguntungkan, mereka tidak tahu apa yang merugikan. Mereka tidak tahu apa yang Dhamma, mereka tidak tahu apa yang bukan Dhamma. Karena tidak tahu apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan, apa yang Dhamma dan apa yang bukan Dhamma, mereka bertengkar, …. mengatakan: ‘Dhamma adalah seperti ini! ….. Dhamma adalah seperti itu!’”
“Dulu, O, bhikkhu, ada seorang raja di Savatthi ini juga. Dan raja itu, O, bhikkhu, menyapa seseorang: ‘Mari, pengawal yang baik, bawalah semua orang di Savatthi yang buta dari lahir.’
“Ya, Yang Mulia,” jawab laki-laki itu, dan sesudah menahan semua orang buta di Savatthi, dia mendekati Raja dan berkata, ‘Semua orang buta di Savatthi sudah dikumpulkan, Yang Mulia.’”
“Sekarang, tunjukkanlah pada orang-orang buta itu seekor gajah.”
“Baiklah, Yang Mulia,” laki-laki itu menjawab Sang Raja, dan dia membawa seekor gajah ke hadapan orang-orang buta itu, dengan mengatakan, ‘Hai, orang-orang buta, ini adalah seekor gajah.’
“Pada beberapa orang buta, laki-laki itu memberikan kepala Sang Gajah, dan mengatakan, “Ini adalah seekor gajah.” Kepada beberapa yang lain dia menghadapkan telinga gajah itu dan mengatakan, “Ini adalah seekor gajah.” Bagi beberapa dia menghadapkan gadingnya ….. belalainya ….. tubuhnya ….. kakinya …..bagian belakangnya ….. ekornya …… rambut di ujung ekornya, dan mengatakan, “Ini adalah seekor gajah.”
“Kemudian, O, bhikkhu, sesudah menunjukkan gajah kepada orang-orang buta, laki-laki itu menghadap Sang Raja dan berkata, ‘Orang-orang buta itu sudah mengenali gajah, Yang Mulia. Lakukanlah sekarang apa yang Baginda pikir cocok.’ Kemudian Raja mendekati orang-orang buta itu dan berkata, ‘Apakah kalian sudah mengenali gajah?’
“Ya Baginda, kami sudah mengenal gajah.”
“Beritahukan padaku, hai orang-orang buta, seperti apakah gajah itu?”
“Orang-orang buta itu yang sudah memegang kepala gajah menjawab, ‘Baginda, seekor gajah adalah seperti tempayan air.’ Orang-orang buta yang sudah memegang telinga gajah menjawab, ‘Seekor gajah, baginda, adalah persis seperti keranjang penampi.’ Orang-orang buta yang memegang gading gajah menjawab, ‘Baginda, seekor gajah adalah seperti mata bajak; orang-orang buta yang sudah memegang belalainya menjawab, ‘Seekor gajah, baginda, adalah seperti tiang bajak.’ Orang-orang buta yang sudah memegang tubuhnya menjawab,’Seekor gajah, baginda, adalah seperti ruangan penyimpan.’ Orang-orang buta yang sudah memegang kakinya menjawab, ‘Seekor gajah, baginda, seperti sebuah tiang.’ Orang-orang buta yang sudah memegang bagian belakangnya menjawab,’Seekor gajah, baginda, adalah seperti lesung.’ Orang-orang buta yang sudah memegang ekornya menjawab, ‘Baginda, seekor gajah adalah seperti sebuah alat penumbuk.’ Orang-orang buta yang sudah memegang rambut di ujung ekornya menjawab, ‘Seekor gajah, baginda, adalah seperti sebuah sapu.’
“Dengan mengatakan, ‘Seekor gajah adalah seperti ini, seekor gajah tidak seperti itu! Seekor gajah tidak seperti ini, seekor gajah adalah seperti itu!’ mereka saling berkelahi dengan tinju-tinju mereka. Dan raja itu sangat gembira (melihat pemandangan itu).”
“Demikian pula, O, bhikkhu, para pengembara dari berbagai aliran itu juga buta, tidak melihat ….. dengan mengatakan: ‘Dhamma adalah seperti ini! …. Dhamma adalah seperti itu!’ ”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Beberapa pertapa dan brahmana, demikian mereka disebut,
Sangat terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri;
Orang yang hanya melihat hal-hal dari satu sisi
Terlibat pertengkaran dan perselisihan.

6.5. Berbagai Aliran (2)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu ada sejumlah pertapa dan brahmana dari berbagai aliran, yang hidup di sekitar Savatthi. Dan mereka mempunyai berbagai pandangan, berbagai kepercayaan, berbagai opini, dan mereka mencari dukungan untuk berbagai pandangan mereka. Ada beberapa pertapa dan brahmana yang bersikeras memegang teguh pandangan ini: “Diri dan dunia ini kekal; hanya ini yang benar dan (pandangan) apapun lainnya salah.” Ada yang bersikeras: “Diri dan dunia ini tidak kekal; ….. Diri dan dunia ini sekaligus kekal dan tak kekal; ….. Diri dan dunia ini bukannya kekal dan bukannya tak kekal; ….”
“Diri dan dunia ini adalah dihasilkan sendiri ….. dihasilkan oleh yang lain ….. dia dihasilkan sendiri dan sekaligus dihasilkan yang lain ….. tidak dihasilkan oleh diri sendiri dan tidak dihasilkan oleh yang lain, tetapi muncul tanpa suatu sebab …..”
“Kesenangan dan rasa sakit, diri dan dunia, adalah dihasilkan sendiri ….. dihasilkan oleh yang lain ….. dihasilkan sendiri dan sekaligus dihasilkan yang lain ….. tidak dihasilkan sendiri dan tidak juga dihasilkan oleh yang lain, tetapi muncul tanpa suatu sebab; hanya inilah yang benar, pandangan apapun lainnya salah.”
Dan mereka hidup bertengkar, berselisih, dan bercekcok, saling menyakiti dengan ucapan-ucapan kasar, dengan mengatakan: “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma tidak seperti itu! Dhamma tidak seperti ini, Dhamma adalah seperti itu!”
Kemudian sejumlah bhikkhu, sesudah memakai jubah mereka sebelum tengah hari dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Sesudah berjalan di Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan dan kembali, sesudah makan, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata pada Sang Bhagava: “Sekarang ini, Bhante, ada sejumlah pertapa dan brahmana, pengembara berbagai aliran, yang tinggal di sekitar Savatthi. Dan mereka mempunyai berbagai macam pandangan ….. dengan mengatakan: ‘Dhamma adalah seperti ini! …..Dhamma adalah seperti itu!’”
“Para pengembara dari aliran-aliran lain itu, O, bhikkhu, adalah buta, tidak melihat. Mereka tidak tahu apa yang menguntungkan, mereka tidak tahu apa yang merugikan. Mereka tidak tahu apa yang Dhamma, mereka tidak tahu apa yang bukan Dhamma. Karena tidak mengetahui apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan, mana yang Dhamma dan mana yang bukan Dhamma, mereka bertengkar …. dengan mengatakan: ‘Dhamma adalah seperti ini! ….. Dhamma adalah seperti itu’”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Beberapa pertapa dan brahmana, demikian mereka disebut,
Sangat terikat pada pandangan mereka sendiri;
Tidak menemukan pijakan yang kokoh
Mereka tenggelam di tengah-tengah arus.

6.6. Berbagai Aliran (3)
Demikianlah yang saya dengar ….. (seperti dalam 6.5.)….. Dan mereka hidup bertengkar, berselisih dan bercekcok, saling menyakiti dengan ucapan-ucapan kasar, dengan mengatakan: “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma tidaklah seperti itu! Dhamma adalah tidak seperti ini, Dhamma adalah seperti itu!”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Umat manusia ini terikat kepada pandangan produksi-diri
sendiri atau memiliki pandangan produksi-diri orang lain.
Beberapa tidak memahami hal ini dan tidak melihat ini sebagai
suatu duri. Tetapi orang yang memahaminya, mencabut duri ini.
Dia tidak berpikir “Saya adalah pelakunya”; dia tidak
berpikir “Orang lain adalah pelakunya.”

Umat manusia ini dipenuhi oleh kesombongan diri,
Dibelenggu oleh kesombongan diri, diikat oleh
kesombongan diri.
Berbicara dengan penuh dendam karena pandangan mereka,
Mereka tidak akan menyeberangi samsara. [18]

6.7. Subhuti
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Subhuti duduk bersila tidak jauh dari Sang Bhagava, menahan tubuhnya tegak, sesudah mencapai suatu konsentrasi yang tak terputus-putus. [19]
Sang Bhagava melihat Yang Ariya Subhuti duduk bersila tidak jauh dari beliau, menahan tubuhnya tegak, sesudah mencapai suatu konsentrasi yang tak terputus-putus.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Orang yang memiliki kondisi batin yang tidak terputus-putus,
Yang di dalamnya telah sangat siap,
Dan sudah mengatasi ikatan,
Ia adalah seorang yang memahami keadaan tidak terbentuk.
Dan dengan mengatasi empat ikatan,
Ia tidak akan terlahir kembali. [20]

6.8. Pelacur
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Rajagaha, di Hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai.
Pada saat itu ada 2 kelompok lelaki yang tergila-gila dan jatuh cinta dengan seorang pelacur. Mereka ribut, berselisih dan bercekcok, dan saling menyerang dengan tinju mereka, dengan gumpalan tanah, dengan papan dan dengan senjata, sehingga mereka menuju kematiannya atau menderita hampir mati.
Kemudian sejumlah bhikkhu, setelah memakai jubah sebelum di tengah hari dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Rajagaha untuk mengumpulkan dana makanan. Sesudah berjalan di Rajagaha untuk mengumpulkan dana makanan dan kembali; sesudah makan, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, dan duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagava: “Pada saat ini, Bhante, ada 2 kelompok ….. atau menderita hampir mati.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Apa yang didapat dan apa yang masih akan didapat; keduanya dirusak oleh
mereka yang memperlakukan dirinya mengikuti pandangan salah. Mereka yang
hanya mengikuti penyiksaan diri sebagai latihan utama, yang menganggap
tinggi hal itu sebagai yang utama dalam kebaikan dan tugasnya, mata
pencaharian dan kehidupan sucinya – ini adalah ekstrim pertama. Dan mereka
yang mempunyai teori-teori dan pandangan pandangan seperti ini:
“Tidak ada salahnya mengumbar nafsu indriya”- ini adalah ekstrim kedua.
Kedua ekstrim ini menyebabkan kuburan-kuburan tumbuh berkembang dan
kuburan-kuburan ini menyebabkan tumbuh berkembangnya pandangan salah.
Karena tidak dapat menembus kedua ekstrim ini, beberapa orang mundur dan
beberapa maju terlalu jauh. Tetapi bagi mereka yang sudah mengatasi kedua
ekstrim tersebut dan tidak lagi jatuh ke dalamnya, tidak lagi ada salah
pengertian; lingkaran (kelahiran yang baru) tidak akan ada lagi. [21]

6.9. Serangga-serangga
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu di malam yang gelap Sang Bhagava sedang duduk di udara terbuka dan lampu-lampu minyak tanah sedang menyala. Saat itu banyak serangga-serangga [22] terbang yang datang mengalami kesialan dan kematian karena jatuh ke dalam lampu-lampu minyak tersebut. Sang Bhagava melihat serangga-serangga terbang tersebut yang datang mengalami kesialan dan kematian karena jatuh ke dalam lampu-lampu minyak tersebut.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Bergegas tanpa pikir panjang dan tidak melihat sesungguhnya,
Mereka menyebabkan adanya ikatan yang baru.
Seperti serangga yang jatuh ke dalam nyala api,
Beberapa orang hanya asyik dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. [23]

6.10. Kemunculan Para Tathagata
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika.
Pada saat itu Yang Ariya Ananda mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, selama para Tathagata tidak muncul di dunia ini, para Arahat, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, selama itu para pengembara dari aliran lain dihormati, dipuja, dihargai, dimuliakan, disembah, dan mereka mendapatkan kebutuhan pakaian, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi ketika para Tathagata muncul di dunia, para Arahat, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempuma, maka para pengembara aliran lain tidak dihormati, tidak dipuja, tidak dihargai, tidak dimuliakan, tidak disembah dan mereka tidak mendapatkan kebutuhan pakaian, makanan, dan obat-obatan. Sekarang ini, Bhante, hanya Sang Bhagava yang dihormati, dipuja, dihargai, dimuliakan, disembah ….. dan juga bhikkhu sangha.”
“Begitulah adanya, Ananda. Selama para Tathagata tidak muncul di dunia ….. selama itu pula para pengembara aliran lain dihormati ….. sekarang hanya para Tathagata yang dihormati ….. dan juga bhikkhu sangha.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Cacing yang bercahaya akan bersinar selama matahari belum muncul,
tetapi ketika matahari itu muncul, sinar cacing yang bercahaya itu akan
terpadamkan dan tidak akan kemilau lagi. Demikian pula para pengembara
bersinar hanya selama Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna belum
muncul di dunia ini. Para pemikir-pemikir demikian itu [24] tidak suci juga
para pengikut mereka, karena mereka yang mempunyai pandangan salah,
tidak akan terbebas dari penderitaan.

Catatan Kaki :
  1. Apa yang mengikuti juga muncul di D. ii, 102 dst., S.v. 258 dst., dan A.iv. 308 dst. Ini merupakan episode yang penting dalam kehidupan Sang Buddha yang menandai awal mula peristiwa-peristiwa yang menuju kepada Parinibbana Nya, yaitu Nibbana Akhir atau mangkat.
  2. Tempat pemujaan yakkha yang disebut Capala. Yakkha pada mulanya adalah dewa pelindung lokal yang dipuja dan diberi sesaji sebagai penukar untuk berbagai kebutuhan materi, tetapi setelah atau persis sebelum munculnya Buddhisme, dengan cepat yakkha itu turun derajat dan dianggap sebagai setan-setan yang jahat, seperti pada 4.4. di atas. Banyak vihara Buddha dibangun di tempat dimana dulunya adalah tempat pemujaan yakkha.
  3. Ini mungkin merupakan semua tempat pemujaan yakkha di sekitar Vesali.
  4. Iddhipada, sering diterjemahkan sebagai “dasar-dasar kekuatan supernormal.” Empat dasar itu adalah : kekuatan tekad, kekuatan semangat, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan penyelidikan. Keempatnya itu menuju pada pencapaian berbagai kekuatan supernormal yang dimiliki oleh Sang Buddha dan murid-murid beliau.
  5. Kappa. Ini adalah kata yang mempunyai banyak arti. Jika diterapkan dalam pengertian untuk satu mahluk hidup, kata ini berarti jangka kehidupan alami (ayu-kappa). Begitulah yang dimengerti oleh komentator di sini, yang mengatakan bahwa Sang Buddha, bila beliau mau, sebetulnya dapat hidup lebih dari 110 tahun. Ini tidak berlebihan, karena dalam komentar-komentar itu banyak murid seperti Ananda, Mahakassapa dan Anuruddha dituliskan berusia 120 tahun atau lebih, sedangkan Sang Buddha mangkat pada usia baru 80 tahun. Bacaan ini diambil dengan maksud bahwa Sang Buddha sebetulnya dapat hidup terus sampai akhir aeon (kappa seperti yang diterapkan untuk dunia), tetapi interpretasi ini ditolak oleh Comy. Teks ini dicuplik sebagai contoh ayu-kappa, tetapi karena ini satu-satunya tempat maka jika kappa dipakai dalam arti “jangka kehidupan”, masih ada keraguan apakah ini interpretasi yang benar. (Lihat juga catatan 9.)
  6. Mara mengalihkan perhatiannya dengan cara menyebabkan suatu pemandangan yang mengerikan muncul (Comy.).
  7. Saat yang sebenarnya tidak terdapat, baik dalam Vinaya Mahavagga atau di dalam Mara Samyutta, dimana itu sebenarnya diharapkan. Tetapi di dalam Mahaparinibbana Suttanta, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda bahwa hal itu terjadi ketika beliau sedang berada di bawah Pohon Beringin Penggembala Kambing segera sesudah Penerangan (cf. 1.4. di atas).
  8. Pattayogakkhema. Dihilangkan oleh Comy. dan dalam D.ii. 104, jadi mungkin merupakan suatu penyisipan.
  9. Tulam atulan ca sambhavam: membandingkan Nibbana dengan keadaan yang berkondisi, beliau memilih Nibbana (Comy.). Ini kelihatannya menyiratkan bahwa Sang Buddha sebetulnya masih dapat dilahirkan kembali jika beliau mau, bahkan pada periode kehidupannya yang itu juga, jadi masih mungkin bahwa kappa memang benar-benar mengacu ke aeon dan bahwa Sang Buddha sebetulnya dapat hidup, atau mungkin terus dilahirkan kembali sampai akhir aeon. Tetapi, ini semuanya sangat spekulatif, karena ungkapan itu tidak jelas. Mungkin itu sekedar berarti beliau memutuskan untuk tidak menghabiskan masa kehidupan Nya sepenuhnya dengan tubuh yang tidak mampu melawan sakit dan usia tua.
  10. Untuk para Jatila, lihat catatan untuk 1.9 di atas. Pertapa telanjang sering diidentifikasikan sebagai Ajivaka, pertapa berpakaian-tunggal sebagai semacam Jain. Ungkapan “dengan tubuh berambut dan kuku panjang” menyiratkan keadaan yang kotor, bau dan tidak membersihkan diri. 
  11. Daerah di India yang terkenal karena kain dan parfumnya; ibukotanya adalah Benares.
  12. Kejujuran itu berunsur tiga: tubuh, ucapan dan mental.
  13. Cora: secara harafiah berarti “pencuri,” yaitu mereka mencuri pemberian makanan yang diberikan dengan penuh keyakinan terhadap pertapa padahal mereka sebenarnya bukan pertapa sama sekali (Comy.). Tetapi, kata cora dalam bahasa Pali mempunyai arti yang lebih luas daripada “pencuri,” mungkin di sini berarti “penipu” atau “mata-mata”. Pemberi informasi adalah ocaraka.
  14. Putih adalah warna tradisi pakaian orang awam.
  15. Seorang bhikkhu seharusnya tidak berusaha menyamai tindakan-tindakan jelek para pengikut raja dengan melakukan pekerjaan sebagai mata-mata. Karena seorang pertapa dapat bepergian dengan bebas, dia dapat menyeleweng melakukan pekerjaan semacam itu. Sang Buddha jelas memperingatkan bhikkhu itu agar tidak menempuh kehidupan yang salah dan juga menyatakan tidak setuju terhadap penyalahgunaan keterangan di luar keagamaan untuk tujuan yang salah, seperti misalnya mengumpulkan informasi yang digunakan raja untuk kepentingan militer dan politik.
  16. Baris pertama syair ini mengacu pada kekotoran yang dulunya ada dan kemudian berhenti pada saat penerangan. Baris kedua mengacu pada sifat-sifat yang luhur tanpa noda yang ada pada saat itu. Dan dua baris terakhir mengacu pada saat penerangan sebagai suatu pengalaman yang tidak dapat diulangi, yaitu saat- jalan (arahattamagga) hanya muncul satu kali saja dan kemudian segera diikuti oleh hasil yang diperoleh (arahatta-phala). Tetapi yang terakhir ini dapat terulang-ulang di seluruh sisa kehidupan.
  17. Untuk sikap Sang Buddha terhadap berbagai pandangan ini, lihat, misalnya, M. Sutta 72. Menurut Comy. “Tathagata” di sini berarti “diri” atau “jiwa”(atta).
  18. Berkelana tanpa akhir dalam lingkaran kelahiran dan kematian.
  19. Dia adalah adik lelaki Anathapindika. Sang Buddha menyatakan dia sebagai murid utama dari mereka yang tinggal dengan damai (aranaviharinam) dan dari mereka yang pantas diberi dana (dakkhineyyanam).
  20. Menurut Comy., Nibbana di sini mengacu pada yang tak terbentuk (arupa), dalam pengertian bahwa Nibbana tidak mempunyai sifat bentuk dan bebas dari perubahan, yang merupakan sifat utama dari bentuk. Nibbana dipahami melalui pencerapan tentang jalan dan hasil. Empat ikatan (yoga) adalah nafsu indria, dumadi, pandangan salah dan ketidaktahuan.
  21. Kedua ekstrim dari kepertapaan dan kemanjaan dalam indria harusnya dihindari sebagai suatu yang tidak menguntungkan, menurut Sang Buddha dalam kotbah pertama Nya (Dhammacakkappavattana Sutta). “Apa yang diperoleh” melalui kesenangan indria adalah penderitaan baik sekarang maupun di masa yang akan datang. “Kuburan” adalah ketidaktahuan dan kemelekatan, yang hanya berupa fungsi memperkuat pandangan yang salah. “Beberapa mundur,” dengan cara melekat terhadap keberadaan dan kesenangan-kesenangan indria atau dengan cara mengambil pandangan kekekalan. “Beberapa maju terlalu jauh” dengan cara mencelakakan diri atau dengan mengambil pandangan penghancuran. (Lihat It. Sutta 49.) Sang Buddha, karena pemahaman Nya, menembus sudut-sudut pandang ekstrim ini; mengajarkan Jalan Tengah yang menuju pada akhir dari penderitaan dan lingkaran tumimbal lahir.
  22. Adhipataka: ngengat dan belalang (Comy.).
  23. Terikat oleh kemelekatan dan pandangan, beberapa pertapa dan brahmana terikat kepada apa yang telah mereka lihat dengan kesadaran mata atau melekat pada pandangan mereka sendiri (“apa yang dilihat”) atau melekat pada apa yang sudah mereka dengar yang disampaikan oleh tradisi mulut (“apa yang didengar”). Jadi mereka melekat pada pandangan kekekatan, dsb., dan karena tidak tahu jalan keluar yang murni, seperti serangga yang jatuh ke dalam nyala api, mereka jatuh ke dalam tiga alam keberadaan yang menyerupai sebuah lubang batubara yang panas, dan mereka terbakar oleh api nafsu, dsb. (Comy.).
  24. Takkika: para ahli teori yang ajarannya berdasarkan pada pemikiran dan argumentasi, bertentangan dengan pengalaman langsung.