Kamis, 29 Maret 2012

VĀTAMIGA-JĀTAKA

“Tidak ada hal yang lebih buruk,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya (Cūḷapiṇḍapātika). Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, ketika Sang Guru menetap di Weluwana dekat Rājagaha, seorang keturunan bangsawan, yang bernama Pangeran Tissa, datang ke Weluwana untuk mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Guru. Ia kemudian memiliki niat untuk bergabung menjadi anggota Sanggha, namun ditolak karena orang tuanya tidak memberikan izin. Ia mendapatkan persetujuan dari orang tuanya setelah mengikuti Raṭṭha-pāla46 dan mogok makan selama tujuh hari, akhirnya ia menerima penahbisan dari Sang Guru.
Sekitar dua minggu setelah menerima anak muda ini, Sang Guru meninggalkan Weluwana menuju ke Jetawana, dimana bangsawan muda ini menjalankan tiga belas latihan (moralitas) dhutaṅga 47 dan menghabiskan waktunya dengan mencari dana makanan dari rumah ke rumah, tanpa melakukan hal lain lagi. Dengan nama Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya (Cūḷapiṇḍapātika), ia menjadi sinar yang terang dan bercahaya dalam ajaran Buddha, laksana bulan di langit.
Saat sebuah perayaan sedang berlangsung di Rājagaha, orang tua thera tersebut meletakkan perhiasan-perhiasan kecil, yang biasa dipakainya saat masih merupakan umat awam, ke dalam sebuah kotak perak; menempelkan kotak itu ke dada,  ibunya meratap, — “Dalam perayaan yang lain, anak kami mengenakan perhiasan yang ini atau itu ketika mengikuti perayaan-perayaan tersebut; dia, putra tunggal kami, telah dibawa pergi oleh Petapa Gotama ke Kota Sawatthi. Dimanakah ia duduk atau berdiri sekarang ini?” Seorang pelayan wanita yang masuk ke dalam rumah melihat majikannya sedang menangis, menanyakan mengapa ia menangis; sang majikan pun menceritakan penyebab kesedihannya.
“Apa yang paling disukai oleh putramu, Nyonya?” “Ia menyukai ini dan itu,” jawabnya. “Baiklah, jika nyonya bersedia memberikan kekuasaan kepada saya atas rumah ini, saya akan membuat ia kembali ke rumah ini.” “Baik,” jawab sang majikan menyetujui hal tersebut, ia memberikan sejumlah uang untuk pengeluaran gadis itu dan mengirimnya pergi beserta sejumlah pendamping. Sang majikan berkata padanya, “Pergilah dan bawa putraku kembali.”
Gadis pelayan itu menaiki tandu dan segera berangkat ke Sawatthi. Di sana, ia menetap di jalan yang sering dilalui oleh thera tersebut dalam menerima dana makanan. [157] Dengan dikelilingi pelayannya sendiri, dan tidak membiarkan thera itu melihat pelayan ayahnya, ia memperhatikan saat thera itu muncul di jalan, lalu mendanakan makanan dan minuman. Setelah mengikat thera itu dengan rangkaian rasa yang membuatnya ketagihan, ia membuat thera itu selalu datang ke rumahnya, hingga akhirnya ia yakin bahwa dana yang ia berikan telah berhasil membuatnya menguasai thera tersebut. Setelah itu, ia berpura-pura sakit, dan berbaring di bilik dalam rumahnya.
Saat thera tersebut melakukan pindapata di jalan itu, ia tiba di depan pintu rumah gadis itu; pelayannya mengambil patta thera tersebut dan mempersilakannya untuk duduk.
Setelah duduk, ia bertanya, “Dimanakah Saudari itu?” “Ia sedang sakit, Bhante. Ia akan senang melihat kedatanganmu.”
Karena telah diikat dengan rangkaian rasa makanan yang membuatnya ketagihan, ia melanggar sumpah dan kewajibannya, ia pergi ke tempat gadis itu terbaring.
Gadis itu menceritakan alasan kedatangannya, membuat ia sedemikian rupa, karena ketagihan akan rasa, bersedia meninggalkan Sanggha; saat masih berada di bawah pengaruh gadis itu, ia dimasukkan ke dalam tandu dan kembali ke Rājagaha bersama rombongan itu.
Kejadian itu tersiar di mana-mana. Saat duduk di Balai Kebenaran, para bhikkhu mendiskusikan kejadian tersebut, berkata, “Awuso, ada laporan bahwa seorang pelayan wanita menggunakan rangkaian makanan yang rasanya menimbulkan ketagihan untuk mengikat dan membawa pergi Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya.” Sang Guru memasuki Balai Kebenaran, dan duduk di tempat duduk-Nya yang dihiasi dengan batu permata dan berkata, “Para Bhikkhu, apa yang menjadi topik pembicaraan pertemuan ini?” Mereka lalu menceritakan kejadian tersebut kepada Beliau.
“Para Bhikkhu,” kata Beliau, “ini bukan pertama kalinya karena terikat pada rasa makanan yang membuatnya ketagihan, ia jatuh ke dalam kuasa wanita itu; ia juga mengalami kejadian yang sama di kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
_____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ia mempunyai seorang tukang kebun yang bernama Sañjaya. Suatu hari, seekor rusa angin (vātamiga) masuk ke taman peristirahatan raja dan lari menghilang dalam sekejap saat Sañjaya menyadari keberadaannya, namun Sañjaya membiarkannya tanpa membuat hewan itu menjadi ketakutan. Setelah beberapa kali muncul, rusa itu mulai terbiasa menjelajahi tempat itu. Tukang kebun tersebut mempunyai kebiasaan untuk mengumpulkan bunga dan buah, kemudian membawakannya kepada raja setiap harinya. Suatu hari, raja bertanya kepadanya, “Pernahkah kamu melihat sesuatu yang asing di taman peristirahatanku?” “Hanya seekor rusa angin, Paduka.” “Menurutmu, dapatkah kamu menangkapnya?” “Ya, jika saya mendapat sedikit madu, saya akan membawa rusa itu ke istana.”
Raja memerintah agar madu diantarkan kepada tukang kebun itu. Pergilah tukang kebun ke taman peristirahatan raja dengan madu di tangannya. Mula-mula, ia mengoleskan madu ke rumput di tempat yang sering didatangi oleh rusa itu, [158] kemudian bersembunyi. Ketika rusa itu muncul dan merasakan rumput yang telah diberi madu itu, ia terjerat oleh rasa harum rumput itu, sehingga ia hanya akan datang ke tempat itu saja. Melihat jeratannya telah memberikan hasil yang baik, tukang kebun itu secara berangsur-angsur memperlihatkan diri kepadanya. Kehadiran tukang kebun membuatnya melarikan diri di hari pertama dan hari kedua. Namun, setelah terbiasa melihat kehadiran tukang kebun tersebut, ia mulai merasa percaya padanya dan mulai mau makan rumput dari tangan tukang kebun itu. Tukang kebun yang menyadari bahwa ia telah memenangkan kepercayaan hewan itu, mulai menyebarkan cabang pohon hingga setebal permadani untuk menutupi jalan setapak di taman peristirahatan raja, kemudian mengikat sebuah labu yang telah dipenuhi oleh madu di bahunya, dan menempelkan seikat rumput di pinggang bajunya. Ia menjatuh sedikit demi sedikit rumput yang telah diolesi madu itu di hadapan rusa tersebut, hingga akhirnya mereka tiba di dalam istana. Begitu rusa itu menginjakkan kakinya di dalam istana, mereka segera menutup pintu. Di bawah tatapan para manusia, rusa itu ketakutan dan gemetaran, berusaha menyelamatkan diri dengan berlari hilir mudik di aula istana; Raja turun dari kamarnya yang berada di tingkat atas istana, melihat hewan yang sedang gemetaran itu, berkata, “Begitu takutnya rusa angin ini sampai-sampai selama seminggu penuh tidak akan mengunjungi tempat yang ada manusianya. Dan tempat dimana ia pernah ditakut-takuti, ia tidak akan pernah kembali lagi sepanjang hidupnya. Namun, karena terjerat oleh rasa yang begitu menggoda, hewan liar dari hutan ini benar-benar telah datang ke tempat seperti ini. Sungguh, Teman-temanku, tidak ada hal yang lebih hina dibanding rasa yang penuh godaan itu.” Ia memasukkan ajarannya dalam syair di bawah ini : —
Tidak ada hal yang lebih buruk lagi, dibanding jerat
(nafsu) rasa, baik di rumah maupun di tempat teman.
Demikianlah rasa itu berhasil membuat Sañjaya
membawa rusa liar ini datang ke sini.
Dengan kata-kata inilah raja melepaskan kijang itu kembali ke hutan.
______________________
[159] Saat Sang Guru telah menyelesaikan uraian-Nya, Beliau mengulangi bahwa bhikkhu itu pernah jatuh pada kekuasaan wanita tersebut di kelahiran yang lampau, sama seperti yang terjadi di kelahiran ini. Kemudian mempertautkan kedua cerita dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Gadis pelayan itu adalah Sañjaya; Cūḷapiṇḍapātika adalah rusa, dan Saya sendiri adalah Raja Benares.”

Tidak ada komentar: