Jumat, 02 Maret 2012

Pataligama

BAB 8
DESA PATALI

8.1. Parinibbana (1)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava sedang mengajar, memberi inspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan percakapan mengenai Dhamma yang berhubungan dengan Nibbana, dan para bhikkhu, dengan keyakinan dan penuh perhatian, mengkonsentrasikan seluruh pikiran, sangat berminat mendengarkan Dhamma.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
O, bhikkhu, ada keadaan [1] dimana tidak ada tanah, tidak ada air,
tidak ada api, dan tidak ada udara; tidak ada dasar yang terdiri dari
ketidak-terbatasan ruang, tidak ada dasar yang terdiri dari ketidak-terbatasan
kesadaran, tidak ada dasar yang terdiri dari kekosongan, tidak
ada dasar yang terdiri dari bukan persepsi dan tidak bukan persepsi;
tidak ada dunia ini atau dunia lain ataupun dua dunia itu; tidak ada matahari
atau rembulan. [2] Di sini, O, bhikkhu, saya katakan tidak ada kedatangan,
tidak ada kepergian, tidak ada yang tinggal, tidak ada kematian, tidak ada
kemunculan. Tidak terpasang, tidak dapat digerakkan tidak mempunyai
penyangga. [3] Inilah akhir dari penderitaan.

8.2. Parinibbana (2)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava sedang mengajar ……. para bhikkhu dengan percakapan mengenai Dhamma yang berhubungan dengan Nibbana, dan para bhikkhu itu ….. sangat berminat mendengarkan Dhamma. [4]
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Yang tidak terpengaruh [5] sulit untuk diketahui,
Kebenaran tidak mudah dilihat,
Nafsu keinginan akan ditembus oleh orang yang tahu,
Tidak ada penghalang bagi orang yang melihat.

8.3. Parinibbana (3)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava sedang mengajar ….. para bhikkhu dengan percakapan mengenai Dhamma yang berhubungan dengan Nibbana, dan para bhikkhu itu ….. sangat berminat mendengarkan Dhamma.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
O, bhikkhu, ada sesuatu yang tidak-dilahirkan, tidak-menjelma,
tidak-tercipta, yang mutlak.
Jika seandainya saja, O, bhikkhu, tidak ada sesuatu yang tidak-dilahirkan,
tidak-menjelma, tidak-tercipta, yang mutlak, maka tidak akan ada jalan
keluar kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan
dari sebab yang lalu. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak-dilahirkan,
tidak-menjelma, tidak-tercipta, yang mutlak, maka ada jalan keluar kebebasan
dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

8.4. Parinibbana (4)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Sang Bhagava sedang mengajar ….. para bhikkhu dengan percakapan mengenai Dhamma yang berhubungan dengan Nibbana, dan para bhikkhu itu ….. sangat berminat mendengarkan Dhamma.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Bagi yang ditopang [6] ada ketidak-stabilan, bagi yang tidak
ditopang tidak ada ketidak-stabilan; bila tidak ada ketidak-stabilan,
ada ketenangan; bila ada ketenangan tidak ada sikap takluk; [7] bila
tidak ada sikap takluk tidak ada datang-dan pergi; dan bila tidak ada
datang-dan-pergi tidak ada kematian-dan-kemunculan; bila tidak ada
kematian-dan-kemunculan, tidak ada “di sini” atau “di luar sana”
ataupun di antara keduanya. [8] Inilah akhir dari penderitaan.

8.5. Cunda
Demikianlah yang saya dengar, pada suatu ketika Sang Bhagava, sementara berjalan berkeliling di antara orang-orang Malla bersama dengan rombongan besar bhikkhu sangha, tiba di Pava. Sang Bhagava berdiam di Pava, di hutan mangga milik Cunda si pandai besi. [9] Pada saat itu Cunda si pandai besi mendengar: “Dikabarkan bahwa Sang Bhagava, sementara berjalan berkeliling di antara orang-orang Malla bersama dengan rombongan besar bhhikkhu sangha, telah tiba di Pava dan tinggal di Pava, di hutan mangga saya.” Kemudian Cunda si pandai besi mendekati Sang Bhagava, bersujud, dan duduk di satu sisi, dan Sang Bhagava mengajar dan membangkitkan, memberi inspirasi dan menggembirakan dia dengan percakapan mengenai Dhamma. Kemudian Cunda si pandai besi, yang diberi pelajaran, dibangkitkan, diberi inspirasi, dan digembirakan oleh percakapan Sang Bhagava mengenai Dhamma, berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, mohon Sang Bhagava setuju bila saya menyediakan makan besok bagi Sang Bhagava bersama dengan bhikkhu sangha.” Sang Bhagava menyetujui dengan berdiam diri. Kemudian ketika melihat bahwa Sang Bhagava telah setuju, Cunda si pandai besi bangkit dari duduknya, bersujud di hadapan Sang Bhagava, dan dengan tetap mengarahkan sisi kanannya kepada Sang Bhagava, dia berlalu.
Ketika malam telah berakhir, Cunda si pandai besi menyiapkan di tempat tinggalnya sendiri ….. makanan padat dan lunak di antaranya terdapat sejumlah besar sukaramaddava. [10] Dan mengumumkan kepada Sang Bhagava mengenai waktu (untuk makan, dengan mengatakan), “Sudah waktunya, Bhante, makanan telah siap.”
Kemudian, Sang Bhagava, sesudah memakai jubah Nya sebelum tengah hari dan membawa mangkuk dan jubah luar Nya, bersama dengan bhikkhu sangha, pergi menuju ke tempat tinggal Cunda si pandai besi. Ketika tiba di sana, beliau duduk di tempat duduk yang telah disediakan untuk beliau dan berkata kepada Cunda si pandai besi: “Layanilah saya Cunda, dengan sukaramaddava yang telah kamu siapkan dan layanilah bhikkhu sangha dengan makanan lain.”
“Baiklah, Bhante,” Cunda si pandai besi menjawab, dan dia melayani Sang Bhagava dengan sukaramaddava dan bhikkhu sangha dengan makanan lain yang sudah disiapkan. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Cunda si pandai besi: “Kuburlah di lubang, sisa sukaramaddava ini, Cunda, karena saya tidak melihat di dunia ini dengan para dewa, mara, dan brahma nya, di antara umat manusia dengan para pertapa dan brahmana nya, para pangeran dan manusia biasa, siapapun di sini yang dapat memakan dan mencerna sepenuhnya sukaramaddava itu selain dari Sang Tathagata.”
“Baiklah, Bhante,” Cunda si pandai besi menjawab, dan dia mengubur apa yang tersisa dari sukaramaddava di sebuah lubang. Kemudian dia berpaling kepada Sang Bhagava, bersujud, dan duduk di satu sisi. Ketika dia duduk di sana, Sang Bhagava mengajar, membangkitkan, memberi inspirasi dan menggembirakan dia dengan percakapan mengenai Dhamma. Lalu beliau bangkit dan pergi.
Kemudian, sesudah Sang Bhagava makan makanan Cunda si pandai besi, sakit yang gawat menyerang beliau, disentri yang dibarengi dengan keluamya darah dan rasa sakit yang mengerikan dan mematikan. Rasa sakit ini dapat ditahan oleh Sang Bhagava, dengan sadar dan sepenuhnya mengetahui, tanpa mengeluh.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Ananda, “Mari, Ananda, kita akan pergi ke Kusinara.”
Ketika makan makanan Cunda si pandai besi,
Demikianlah yang saya dengar,
Yang Bijaksana merasakan sakit,
Yang mengerikan, yang akan berakhir dengan kematian.
Ketika beliau memakan sukaramaddava,
Sakit yang mengerikan muncul di dalam diri Sang Guru.
Kemudian ketika sudah tersingkir dari penyakit itu Sang Bhagava mengumumkan:
“Saya akan pergi ke kota Kusinara. [11]
Kemudian Sang Bhagava menepi, pergi ke kaki sebuah pohon, dan berkata kepada Yang Ariya Ananda: “Ananda, lipatlah jubahku menjadi empat dan siapkan satu tempat duduk. Saya lelah dan akan duduk.”
“Ya, Bhante,” Yang Ariya Ananda menjawab Sang Bhagava, dia melipat jubah itu menjadi empat, menyiapkan tempat duduk dan Sang Bhagava duduk. Sambil duduk di sana Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Ananda: “Tolong Ananda, ambilkan saya air. Saya haus, Ananda, dan akan minum.” Pada saat itu Yang Ariya Ananda berkata kepada Sang Bhagava: “Baru saja ini, Bhante, sebanyak 500 kereta lewat dan air yang dangkal yang teraduk oleh roda-rodanya menjadikan air itu berlumpur. Tetapi ada sungai Kututtha, di dekat sini, dengan air murni yang jernih, menyenangkan, sejuk dan yang dengan mudah dapat dicapai dan tempatnya menyenangkan. Di sini Sang Bhagava dapat minum air itu dan menyegarkan tubuh-nya.”
Kemudian untuk kedua kalinya dan ketiga kalinya Sang Bhagava berkata: “Tolong, Ananda, ambilkan saya air…..”
“Baiklah, Bhante,” Yang Ariya Ananda menjawab Sang Bhagava, dan dengan membawa mangkuk, beliau pergi ke sungai. Kemudian, ketika Yang Ariya Ananda sedang mendekat, air sungai yang dangkal itu, yang teraduk oleh roda dan mengalir keruh, mengalir murni, bening dan tidak berlumpur. Kemudian Yang Ariya Ananda berpikir: “Memang luar biasa, memang menakjubkan, kemampuan luar biasa dan kekuatan Sang Tathagata! Sungai ini ….. sekarang mengalir jernih, murni, dan tidak berlumpur.” Dan dengan membawa air di dalam mangkuk, beliau mendekati Sang Bhagava dan berkata: “Memang luar biasa, memang menakjubkan, kemampuan luar biasa dan kekuatan Sang Tathagata! ….. Minumlah air ini, Sang Bhagava. Minumlah air ini, Sang Sugata.” Dan Sang Bhagava meminum air itu.
Kemudian Sang Bhagava, bersama dengan rombongan bhikkhu sangha, pergi ke sungai Kukuttha, dan masuk ke dalam air. Beliau mandi dan minum. Sesudah keluar dari air, beliau pergi ke hutan pohon mangga dan berkata kepada Yang Ariya Cundaka: “Tolong, Cundaka, lipatlah jubahku menjadi empat dan siapkan tempat duduk. Saya lelah dan akan berbaring.”
“Ya, Bhante,” Yang Ariya Cundaka menjawab. Beliau melipat jubah itu menjadi empat, dan menyiapkan tempat tidur panjang. Dan Sang Bhagava berbaring di sebelah sisinya dalam sikap istirahat seekor singa, yaitu dengan menempatkan satu kaki di atas kaki lainnya, waspada dan sepenuhnya terkonsentrasi, menentukan waktu untuk bangun. [12] Dan Yang Ariya Cundaka duduk di hadapan Sang Bhagava.
Sang Buddha datang ke Sungai Kukuttha,
Dengan air yang murni, menyenangkan dan jernih.
Sang Guru merendam tubuhnya yang lelah,
Sang Tathagata, tidak terbandingkan di dunia.
Sesudah mandi, minum, dan keluar,
Guru yang dihormati di tengah-tengah kelompok para bhikkhu,
Guru yang terkemuka, Sang Bhagava di sini sekarang, [13]
Pertapa agung, pergi ke hutan mangga.
Kepada bhikkhu bemama Cundaka beliau berkata:
“Siapkan jubahku, yang dilipat menjadi empat.”
Diperintah oleh Yang Telah Mencapai Ketenangan,
Cundaka dengan cepat menata jubah yang terlipat empat.
Sang Guru membaringkan tubuhnya yang lelah,
Dan Cundaka duduk di sana di hadapannya.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Ananda: “Mungkin saja Ananda, bahwa seseorang akan menyebabkan rasa penyesalan bagi Cunda si pandai besi dengan mengatakan: “Adalah suatu kerugian bagimu, teman Cunda, adalah suatu kesialan bagimu, bahwa Sang Tathagata mencapai Nibbana Akhir setelah beliau menerima dana makanan terakhirNya darimu.” Penyesalan yang pada Cunda si pandai besi itu harus dihilangkan dengan cara ini: ‘Adalah suatu keuntungan bagimu, teman Cunda, adalah suatu keberuntungan bagimu, bahwa Sang Tathagata mencapai Nibbana Akhir setelah menerima makanan terakhirNya darimu. Dengan berhadapan muka saya mendengar ini dari Sang Bhagava, sahabat Cunda, dengan berhadapan muka saya mengetahuinya: Kedua persembahan makanan ini mempunyai buah yang sama, hasil yang sama, buah yang jauh lebih besar dan keuntungan yang jauh lebih besar daripada pemberian makanan yang manapun. Apakah dua persembahan itu? Persembahan makanan yang sesudah memakannya Sang Tathagata mencapai Penerangan Yang Sempurna [14] dan persembahan makanan yang sesudah memakannya Sang Tathagata mencapai Nibbana Akhir, di dalam bentuk Nibbana yang tidak mempunyai sisa sama sekali. Kedua makanan persembahan itu mempunyai buah yang sama, hasil yang sama, mempunyai buah dan keuntungan yang jauh lebih besar daripada persembahan makanan yang manapun. Satu perbuatan telah dilakukan oleh Cunda si pandai besi yang terhormat yang menghasilkan kehidupan yang lama, keindahan, kebahagiaan, surga, kemasyuran, dan keunggulan.’ Dengan cara ini penyesalan Cunda si pandai besi akan lenyap.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Jasa timbul dari orang yang memberi;
Tidak ada rasa permusuhan yang terbentuk bagi seseorang yang terkendali;
Seseorang yang cakap meninggalkan perbuatan jahat:
Dengan berakhirnya keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan,
seseorang mencapai pembebasan, Nibbana Akhir.

8.6. Desa Patali
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava, sementara berjalan berkeliling di antara orang-orang Magadha bersama dengan bhikkhu sangha, tiba di desa Patali dan berdiam di sana. Pengikut awam di Patali mendengar: “Dikatakan bahwa Sang Bhagava, sementara berjalan berkeliling di antara orang-orang Magadha bersama dengan bhikkhu sangha, telah tiba di Patali.”
Kemudian pengikut awam Patali mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagava, “Bhante, sudilah Sang Bhagava tinggal di rumah peristirahatan kami.” Sang Bhagava menyetujui dengan cara berdiam diri …. Kemudian, setelah melihat Sang Bhagava setuju, pengikut awam Patali bangkit dari tempat duduknya, bersujud di hadapan Sang Bhagava, dan dengan tetap mengarahkan sisi kanannya pada Sang Bhagava, mereka pergi ke rumah peristirahatan. Sebelum Sang Bhagava tiba mereka menutupi seluruh lantai rumah peristirahatan itu, menyiapkan tempat duduk, menaruh tempat air di sana dan menyalakan lampu minyak. Kemudian mereka pergi menemui Sang Bhagava, bersujud, dan sambil berdiri di sana mereka berkata kepada Sang Bhagava. “Seluruh lantai rumah peristirahatan telah ditutupi, tempat duduk telah disiapkan, tempat air juga sudah ditaruh di sana dan lampu minyak telah dinyalakan. Sudilah Sang Bhagava melakukan apa yang beliau pikir sudah waktunya dilakukan.”
Kemudian Sang Bhagava, setelah memakai jubahnya sebelum tengah hari dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke rumah peristirahatan itu bersama dengan bhikkhu sangha. Setibanya di sana Sang Bhagava mencuci kaki Nya, memasuki rumah peristirahatan, dan duduk di dekat pilar tengah menghadap ke timur. Bhikkhu sangha ….. duduk di dekat dinding sebelah barat menghadap ke timur dan Sang Bhagava berada di depan mereka. Dan pengikut awam dari Patali, sesudah mencuci kaki mereka, memasuki rumah istirahat dan duduk dekat dinding sebelah timur menghadap ke barat, mereka berhadapan dengan Sang Bhagava. Kemudian Sang Bhagava menyapa para pengikut awam dari Patali:
“Perumah tangga, ada lima kerugian bagi seseorang yang tidak bermoral mengalami kemunduran dalam kebaikannya. Apakah kelima hal itu?
“Begini, O, perumah tangga, seseorang yang tidak bajik dan tidak bermoral melalui kebodohannya menderita kerugian kekayaan yang besar; ini merupakan kerugian pertama bagi seorang yang tidak bermoral mengalami kemunduran dalam kebaikannya. Selanjutnya, O, para perumah tangga, reputasi jelek akan tersebar sehubungan dengan orang yang tidak bajik dan tidak bermoral; ini merupakan kerugian ke dua …. Selain itu, O, perumah tangga, kelompok orang apapun yang didekati oleh orang yang tidak bajik dan tidak bermoral – entah kelompok bangsawan, brahmana, perumah tangga, atau pertapa – ia mendekati mereka tanpa dipercayai dan diyakini; ini merupakan kerugian ketiga ….. Selain itu, O, perumah tangga, seorang yang tidak bajik dan tidak bermoral meninggal dunia dalam keadaan bingung; ini merupakan kerugian keempat ….. Akhirnya, O, perumah tangga, ketika tubuhnya hancur, sesudah kematian, orang yang tidak bajik dan tidak bermoral akan lahir kembali dalam alam kesengsaraan, suatu keadaan yang tidak bahagia, tempat kejatuhan, neraka; ini adalah kerugian kelima …..
“Inilah, O, perumah tangga, kelima kerugian bagi orang yang tidak bermoral mengalami kemunduran dalam kebaikannya.”
“O, perumah tangga, ada lima keuntungan bagi seorang yang bermoral mengalami kemajuan dalam kebaikannya. Apakah kelima hal itu?”
“Begini, O, perumah tangga, seorang yang bajik dan bermoral melalui kerajinannya akan mendapatkan banyak kekayaan; ini merupakan keuntungan pertama bagi orang yang bermoral mengalami kemajuan dalam kebaikannya. Selanjutnya, O, perumah tangga, suatu reputasi baik tersebar sehubungan dengan orang yang bajik dan bermoral; ini merupakan keuntungan yang kedua ….. Selain itu, O, perumah tangga, kelompok orang manapun yang didekati orang yang bermoral dan bajik – entah kelompok bangsawan, brahmana, perumah tangga, pertapa – ia mendekati dengan mendapatkan kepercayaan diri dan keyakinan; ini merupakan keuntungan ketiga …. Selain itu, perumah tangga, seorang yang bajik dan bermoral meninggal dunia dalam keadaan tidak bingung; ini merupakan keuntungan keempat …. Akhirnya, O, perumah tangga, setelah hancurnya tubuh, sesudah kematian, seorang yang bajik dan bermoral akan lahir kembali di alam yang berbahagia, di alam surgawi; ini adalah keuntungan kelima….
“Inilah, O, perumah tangga, kelima keuntungan dari orang bermoral mengalami kemajuan dalam kebaikannya.”
Kemudian Sang Bhagava, sesudah mengajar, membangkitkan, memberi inspirasi dan menggembirakan hati para pengikut awam Patali dengan percakapan mengenai Dhamma sampai larut malam itu, meminta mereka pulang dengan mengatakan: “Malam telah larut, O, perumah tangga. Lakukanlah sekarang apa yang kalian pikir sudah waktunya dilakukan.”
Kemudian para pengikut awam dari Patali, karena gembira dan penuh penghargaan terhadap apa yang dikatakan Sang Bhagava, bangkit dari tempat duduk mereka, bersujud di hadapan Sang Bhagava dan sambil tetap mengarahkan sisi kanan mereka pada Sang Bhagava, mereka pergi. Segera sesudah para pengikut awam Patali pergi, Sang Bhagava mengundurkan diri ke ruangan yang kosong.
Pada saat itu Sunidha dan Vassakara, menteri pemerintah dari Magadha, sedang membangun sebuah kota di desa Patali untuk menghindari suku Vajji. [15] Dan sejumlah besar dewata, yang berjumlah beribu-ribu, menduduki tempat sekitar desa Patali. Dimanapun dewata-dewata yang kuat berada pada tempat itu, di situlah raja atau menteri-menteri bangsawan yang kuat cenderung untuk membangun pemukiman. Dan dimanapun dewata yang menengah atau kecil berada pada tempat itu, raja dan menteri kerajaan yang sedang dan kecil cenderung untuk membangun pemukiman. Sekarang, dengan matanya yang agung yang sudah dimurnikan dan melebihi mata manusia biasa, Sang Bhagava melihat para dewata itu yang berjumlah beribu-ribu, yang menduduki tempat sekitar desa Patali. Kemudian Sang Bhagava, pada akhir malam ketika fajar hampir tiba, bangkit dan berkata kepada Yang Ariya Ananda, “Ananda, siapakah yang sedang membangun sebuah kota di desa Patali?”
“Sunidha dan Vassakara, menteri pemerintah dari Magadha, Bhante, sedang membangun sebuah kota di desa Patali untuk menghindari suku Vajji.”
“Kelihatannya Sunidha dan Vassakara sudah berkonsultasi dengan para dewa dari surga Tavatimsa, Ananda, (sebelum memutuskan) untuk membangun sebuah kota di desa Patali untuk menghindari suku Vajji. Saya sudah melihat, dengan mata Dhamma ….. sejumlah besar dewata, berjumlah beribu-ribu, menempati daerah di sekitar desa Patali. Dimana dewata yang kuat berada pada suatu tempat …. raja dan menteri kerajaan cenderung membangun pemukiman. Sejauh pengaruh Sang Tathagata membentang [16], Ananda, sejauh itu pula rute perdagangan terbentang, ini akan merupakan kota utama dimana berbungkus-bungkus barang dagangan akan dibuka. Tetapi kota Pataliputta, Ananda akan menderita tiga bencana: dari api, dari air, atau dari perpecahan suatu kesatuan.” [17]
Kemudian Sunidha dan Vassakara, menteri-menteri pemerintah Magadha, mendekati sang Bhagava, bertukar sapa ramah dengan beliau, berdiri di satu sisi dan berkata, “Sudilah, Gotama yang baik, menerima pemberian makanan dari kami besok bagi Sang Bhagava bersama dengan bhikkhu sangha.” Sang Bhagava menyetujui dengan cara berdiam diri. Kemudian, ketika melihat Sang Bhagava telah menyetujuinya, Sunidha dan Vassakara pergi ke tempat tinggal mereka sendiri. Sesudah menyiapkan pilihan makanan padat dan lunak, mereka memberitahu Sang Bhagava mengenai waktu (untuk makan), “Sudah waktunya, Gotama yang baik, makanan sudah siap.”
Kemudian Sang Bhagava, sesudah memakai jubahnya sebelum tengah hari, membawa mangkuk serta jubah luar Nya, bersama dengan bhikkhu sangha pergi menuju ke tempat tinggal Sunidha dan Vassakara. Setelah tiba di sana, beliau duduk di tempat duduk yang telah disediakan bagi beliau. Kemudian Sunidha dan Vassakara, menteri-menteri pemerintah dari Magadha, dengan tangan mereka sendiri melayani dan memenuhi kebutuhan para bhikkhu yang diketuai oleh Sang Buddha dengan pilihan makanan padat dan lunak. Kemudian ketika Sang Bhagava telah selesai bersantap dan mencuci tangan dan mangkuk. Sunidha dan Vassakara, setelah memilih tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi. Dan Sang Bhagava mengutarakan terimakasih beliau kepada Sunidha dan Vassakara dalam syair-syair berikut ini:
“Di tempat manapun seorang bijaksana
Membangun rumahnya
Di sini ia sepantasnya memberi makan kepada orang bijak,
Yang terkendali, yang menjalani kehidupan suci.
Kepada para dewata di sana
Dia harus membuat persembahan;
Bila dihormat, mereka akan menghormatnya,
Bila dihargai, mereka akan menghargainya.
Mereka akan menunjukkan kasih sayang kepadanya,
Seperti seorang ibu kepada anaknya sendiri,
Seseorang yang dikasihi oleh para dewata,
Selalu mempunyai keberuntungan yang baik.”
Sesudah berterima kasih kepada Sunidha dan Vassakara dengan syair-syair tersebut, Sang Bhagava bangkit dari tempat duduknya dan berlalu.
Pada kesempatan itu Sunidha dan Vassakara mengikuti langkah Sang Bhagava dengan berpikir: “Gerbang manapun yang dilewati oleh pertapa Gotama hari ini akan disebut Gerbang Gotama dan pelabuhan dimana beliau akan menyeberangi sungai Gangga akan disebut Pelabuhan Gotama.” Dan pintu gerbang dimana Sang Bhagava lewat sampai sekarang dinamakan Gerbang Gotama.
Kemudian Sang Bhagava mendekati sungai Gangga, tetapi pada saat itu, sungai tersebut begitu ramai sehingga seekor burung gagak (berdiri di tepi beliau) dapat minum air sungai itu. Beberapa orang di sana yang ingin menyeberang ke pantai seberang, sedang mencari-cari perahu, beberapa sedang mencari kayu yang mengapung, dan beberapa sedang membangun rakit. Pada saat itu seperti seorang kuat yang dapat menjulurkan tangannya yang lentur atau melenturkan tangannya yang terjulur, begitulah Sang Bhagava lenyap dari tepi sungai Gangga yang di sebelah sini dan muncul kembali di tepi sebelah sana bersama bhikkhu sangha. Sang Bhagava melihat orang-orang itu ….. sedang mencari perahu, mencari kayu yang mengapung.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Mereka yang sudah membuat jembatan,
Menyeberangi banjir di sungai,
Dengan meninggalkan kolam-kolam berawa di belakang,
Sementara orang-orang sedang membuat rakit
Sang Bijaksana sudah menyeberangi. [18]

8.7. Kedua Jalan
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang mengadakan perjalanan di sepanjang jalan, di antara orang-orang Kosala bersama bhikkhu Nagasamala sebagai pembantunya. [19] Ketika mereka sedang berjalan, bhikkhu Nagasamala melihat bahwa jalan itu terpecah, dan ketika melihat hal itu, berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, itulah jalannya; marilah kita lewat jalan itu.” Lalu Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu Nagasamala, “Inilah jalannya, Nagasamala; marilah kita lewat sini.”
Kedua kali dan ketiga kalinya bhikkhu Nagasamala berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, itulah jalannya; marilah kita lewat sana.” Dan kedua dan ketiga kalinya Sang Bhagava berkata: “Inilah jalannya, Nagasamala; marilah kita lewat sini”
Kemudian bhikkhu Nagasamala meletakkan mangkuk dan jubah luar Sang Bhagava di tanah dan pergi dengan mengatakan, “Di sini, Bhante, adalah mangkuk dan jubah luar Sang Bhagava.” Ketika bhikkhu Nagasamala pergi di sepanjang jalan itu, perampok menemukan dia; memukulnya, menendangnya, memecahkan mangkuk dan merobek jubahnya. Kemudian bhikkhu Nagasamala, dengan mangkuk pecah dan jubah yang robek, kembali menemui Sang Bhagava. Sesudah bersujud di depan Sang Bhagava, dia duduk di satu sisi dan berkata: “Baru saja ini, Bhante, ketika saya sedang berjalan di jalan itu, perampok datang, memukul saya dan menendang saya, memecahkan mangkuk dan merobek jubah saya.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Berjalan bersama-sama; seorang bijaksana yang
harus bersama dengan orang-orang bodoh.
Tetapi ketika melihat apa yang salah, ia akan meninggalkan mereka,
seperti seekor burung heron yang sayapnya terbentang
meninggalkan tanah yang berpaya-paya.

8.8. Visakha
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Taman Timur, di rumah induk ibu Migara. Pada saat itu cucu laki-laki tercinta dari Visakha, ibu Migara, meninggal dunia. Kemudian Visakha, ibu Migara, dengan pakaian basah dan rambut basah [20] mendekati Sang Bhagava di tengah hari. Sesudah bersujud, ia duduk di satu sisi, dan Sang Bhagava berkata kepadanya: “Darimana engkau Visakha, tiba di sini dengan pakaian dan rambut basah?”
“Bhante, cucuku yang tercinta meninggal dunia. Itulah sebabnya saya tiba di sini di tengah hari dengan pakaian dan rambut basah.”
“Visakha, maukah engkau mempunyai anak laki dan cucu laki sebanyak orang-orang di Savatthi?”
“Saya mau, Sang Bhagava, mempunyai anak laki dan cucu laki sebanyak orang yang ada di Savatthi.”
“Tetapi berapa orang, Visakha, yang meninggal dunia setiap hari di Savatthi?”
“Mungkin sepuluh orang, Bhante, meninggal dunia setiap hari di Savatthi. Atau mungkin sembilan orang meninggal dunia ….. atau delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua orang meninggal dunia ….. atau mungkin satu orang meninggal dunia setiap hari di Savatthi. Bhante, Savatthi tidak pernah tanpa orang yang meninggal dunia.”
“Bagaimana menurut kamu, Visakha, apakah kamu akan pernah tanpa pakaian basah dan rambut basah?”
“Tidak, Bhante. Saya tak mau lagi mempunyai begitu banyak anak laki dan cucu laki!”
“Visakha, mereka yang mempunyai seratus orang tercinta mempunyai seratus penderitaan. Mereka yang mempunyai sembilan puluh orang tercinta mempunyai sembilan puluh penderitaan. Mereka yang mempunyai delapan puluh, tujuh puluh, enam puluh, lima puluh, empat puluh, tiga puluh, dua puluh, sepuluh, lima, empat, tiga, dua orang yang dicintai mempunyai dua penderitaan. Mereka yang mempunyai satu orang yang dicintai mempunyai satu penderitaan. Mereka yang tidak mempunyai orang yang dicintai tidak mempunyai penderitaan. Mereka tidak menderita, tidak ternoda, tidak putus asa, kataku.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Kesedihan atau penderitaan apapun yang ada,
Berbagai macam penderitaan di dunia ini,
Karena adanya sesuatu kecintaan terhadap hal-hal yang ada itu;
Tanpa sesuatu yang dicintai, penderitaan dan kesedihan itu tidak akan ada,
Jadi mereka bahagia dan bebas dari kesedihan,
Yang tidak mempunyai yang dicintai dimanapun di dunia ini.
Karena bercita-cita untuk tidak bersedih dan tidak ternoda,
Jangan melekat pada apapun dimanapun di dunia ini.

8.9. Dabba (1)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Rajagaha, di Hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai. Pada saat itu Yang Ariya Dabba Mallaputta mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: “Sugata, sekarang adalah waktu bagi Nibbana Akhir ku.”
“Lakukanlah sekarang, Dabba, apa yang kamu pikir sudah waktunya untuk dilakukan.”
Kemudian Yang Ariya Dabba Mallaputta bangkit dari tempat duduknya, bersujud di hadapan Sang Bhagava, dan tetap mengarahkan sisi kanannya pada Sang Bhagava, bangkit naik ke udara; dan di langit, sementara duduk bersila di angkasa, beliau memasuki elemen-api, muncul, dan merealisasi Nibbana Akhir. [21]
Ketika Yang Ariya Dabba Mallaputta ….. memasuki elemen api, muncul, dan merealisasi Nibbana Akhir, tubuhnya terbakar habis dan benar-benar punah sehingga tidak ada abu ataupun jelaga yang tertinggal. Persis seperti ketika ghee atau minyak dibakar dan habis, tidak akan ada abu maupun jelaga yang tertinggal, begitulah juga ketika Yang Ariya Dabba Mallaputta mencapai Nibbana Akhir.
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Tubuh akan terurai, pencerapan berhenti,
Semua perasaan benar-benar habis;
Aktivitas mental padam,
Dan kesadaran mencapai akhir. [22]

8.10. Dabba (2)
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Di sana Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu, dengan mengatakan: “O, bhikkhu!”
“Ya, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab Sang Bhagava.
Sang Bhagava berkata: “Ketika Dabba Mallaputta naik ke udara, dan berada di langit, sementara duduk bersila di angkasa, memasuki elemen-api, muncul dan merealisasi Nibbana Akhir, tubuhnya terbakar habis dan benar-benar habis, sehingga tidak ada abu maupun jelaga yang tersisa. Persis seperti ketika ghee atau minyak dibakar ….. demikian juga tubuhnya terbakar habis dan benar-benar habis.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Persis seperti arus yang tidak diketahui,
Dari kemilau yang berangsur-angsur memudar,
Yang dipancarkan oleh besi yang dipanasi di perapian,
Ketika besi itu dipukul dengan pukul pandai besi, [23]
Demikianlah tidak ada pemburuan arus,
Bagi mereka-mereka yang telah bebas sempurna,
Yang sudah menyeberangi banjir,
Ikatan pada nafsu-nafsu indria,
Dan mencapai kebahagiaan yang tidak tergoyahkan.

Kotbah-kotbah Inspirasi Buddha
Selesai

Catatan Kaki :
  1. Tadayatanam: keadaan, dasar, lingkup, tempat, daerah, posisi, dsb. yang berarti Nibbana. Parinibbana (dari judul itu) berarti Nibbana “lengkap” atau “akhir”. (Lihat kesimpulan 8.5 di bawah).
  2. Empat elemen itu adalah sifat utama dari hal itu. Empat “alam tak berbentuk,” atau aspek persepsi yang paling halus, dialami dalam tingkat-tingkat meditasi ketenangan yang paling tinggi, tetapi masih “duniawi” dan “lain” daripada Nibbana. “Matahari dan bulan” mungkin berarti seluruh alam semesta secara fisik.
  3. Itu tidak mempunyai penyangga, yaitu tidak berkondisi. Seluruh ucapan ini merupakan salah satu pernyataan paling lengkap mengenai Nibbana yang ditemukan dalam Pali Canon.
  4. Pengantar untuk 8.1-4 adalah mirip.
  5. Tidak terpengaruh oleh kemelekatan. Beberapa orang membaca amatam (mati) dan bukannya anatam (diterjemahkan sebagai “yang tidak terpengaruh”). Kata natam diterjemahkan di bawah (8.4) sebagai “sikap takluk.”
  6. Ditopang
  7. Atau kecenderungan terhadap kemelekatan.
  8. Lihat 1.10 di atas.
  9. Berikutnya juga ditemukan dalam Mahaparinibbana Suttanta (D. Sutta 16). Ini merupakan sebagian dari cerita hari-hari terakhir Sang Buddha mendekati akhir dari masa tiga bulan yang diceritakan sebelumnya dalam 6.1. di atas. Lihat Last Days of the Buddha (BPS Wheel No. 67/69).
  10. Dari masa-masa yang lalu mengenai hidangan ini, makanan terakhir Sang Buddha, merupakan pokok bahasan kontraversi yang terus- menerus; jadi itu dibiarkan tidak diterjemahkan. Sukara berarti babi atau babi muda, dan maddava berarti lunak, lembut, enak dan sebagainya. Komentar-komentar itu memberikan berbagai spekulasi: bagian lunak dari seekor babi yang disiapkan dengan seksama, atau hidangan nasi yang direbus lunak: atau tanaman atau jamur yang disukai babi (jadi diterjemahkan di tempat lain sebagai jamur); atau juga akar bambu yang diinjak-injak oleh babi, dll. Juga ada kesan bahwa hidangan itu merupakan suatu infusi obat alkimia yang mujarab untuk segala penyakit yang disiapkan oleh Cunda, si pandai emas.
  11. Syair-syair cerita dalam Sutta ini jelas ditambahkan oleh pengumpul kuno untuk menekankan pentingnya peristiwa yang digambarkan.
  12. Sang Buddha memutuskan sebelum pergi tidur berapa lama beliau akan tidur dan kapan saat beliau akan bangun lagi. Ini merupakan aspek praktek kewaspadaan.
  13. Bhagava’dha dhamme: Sang Bhagava sebagai yang mewujudkan Dhamma.
  14. Ini adalah mangkuk nasi-susu yang diberikan oleh wanita bernama Sujata.
  15. Penduduk sebuah republik yang berbatasan dengan kerajaan Magadha. Tidak lama setelah mangkatnya Sang Buddha kedua negara itu berperang dan Magadha akhirnya menaklukkan dan menguasai wilayah suku Vajji.
  16. Yaitu tempat duduk Sang Buddha dan Buddhisme, yaitu India timur laut.
  17. Pataliputta adalah sebuah nama yang diberikan untuk kota yang menjadi besar selama pemerintahan Kaisar Asoka, yang sesuai dengan ramalan Sang Buddha. Ini adalah kota India modern Patna.
  18. Menurut Comy., jembatannya adalah jalan utama, banjir adalah samsara, dan arusnya adalah kemelekatan. Dua baris terakhir menyiratkan bahwa tanpa pengetahuan tentang jalan utama, tidak akan ada jalan yang efektif untuk lepas dari samsara. Sementara masih mempunyai keterikatan (“membuat rakit”) orang mengalami kesengsaraan (menggelepar dalam “kolam-kolam berawa”) dan tidak dapat mengeluarkan diri mereka sendiri dari samsara (“menyeberangi banjir di sungai”). Bahwa sang jalan itu segera diikuti oleh hasilnya ditunjukkan dengan penyeberangan seketika itu juga oleh “Yang Bijaksana” – Sang Buddha dan murid-murid Nya.
  19. Episode ini pasti telah muncul awal dalam masa Sang Buddha, sebelum Ananda menjadi pembantu tetapnya dan sebelum Nagasamala menjadi seorang Arahat. Bandingkan dengan 4.1.
  20. Lihat 2.7 dan Bab 2, catatan 4.
  21. Beliau memasuki konsentrasi (samadhi) yang didasarkan pada elemen api, salah satu dari latihan kasina (bandingkan Vism. Bab V), dan kemudian “muncul” dari konsentrasi itu. Dabba Mallaputta disebutkan di tempat lain sebagai orang yang mempunyai kemampuan luar biasa menguasai elemen api atau panas; dan dalam Vin.iii, 76-80 beliau membimbing para bhikkhu menuju ke tempat tinggal mereka dengan mengeluarkan sinar dari tangannya. Beliau dikatakan telah menjadi seorang Arahat ketika masih berusia tujuh tahun.
  22. Ini adalah kelima kelompok (khandha), kelompok komponen yang tidak permanen dan tidak stabil yang merangkai apa yang kita sebut “suatu mahluk”. Lima khandha itu terus menerus berproses melalui lingkaran kelahiran kembali, tetapi berhenti berproses pada saat Parinibbana atau wafatnya seorang Arahat.
  23. Kiasan ini, dalam bahasa Pali, agak tidak jelas dan terjemahannya hanyalah bersifat sementara dengan mengingat maksudnya yang sebenarnya.