Kamis, 29 Maret 2012

NAḶAPĀNA-JĀTAKA

[170] “Saya menemukan jejak-jejak kaki,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru saat melakukan pindapata melewati Kosala, ketika tiba di Desa Naḷakapāna (Bambu Minum), dan menetap di Ketakavana dekat Kolam Naḷakapāna, di sekitar batang-batang rotan. Saat itu, setelah mandi di Kolam Naḷakapāna, para bhikkhu meminta para samanera mengambilkan potongan bambu untuk dijadikan wadah jarum 52 , namun mereka menemukan bahwa seluruh batang bambu itu berongga, mereka mencari Sang Guru dan bertanya, “Bhante, kami mengambil potongan bambu untuk dijadikan wadah jarum, namun potongan itu berongga dari atas hingga bawah. Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
“Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “demikianlah yang saya tetapkan di kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan tentang kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Dahulu kala, disampaikan pada kita, terdapat satu hutan belantara di tempat ini. Di dalam kolam ini, tinggallah seorang raksasa air yang melahap semua orang yang masuk ke dalam kolam. Di masa itu, Bodhisatta terlahir sebagai raja kera, dengan tubuh sebesar anak rusa merah. Ia tinggal di hutan sebagai pimpinan dari kawanan kera yang jumlahnya tidak kurang dari delapan puluh ribu ekor, yang ia lindungi dari semua mara bahaya. Demikian yang ia nasihatkan pada para pengikutnya: — “Teman-temanku, di hutan ini ada banyak pohon beracun dan kolam-kolam yang dihuni oleh para raksasa. Ingatlah untuk bertanya padaku sebelum kalian makan buah-buahan yang tidak pernah kalian makan sebelumnya, atau minum air di tempat yang  tidak pernah kalian minum sebelumnya.” “Baik,” jawab mereka dengan sigap.
Suatu hari, kawanan kera ini tiba di tempat yang tidak pernah mereka datangi sebelumnya. Saat sedang mencari air minum setelah melakukan pengembaraan sepanjang hari, mereka menemukan kolam ini. Namun mereka tidak langsung minum, melainkan duduk melihat Bodhisatta yang sedang mendekat ke arah mereka.
Setelah tiba di sana, ia bertanya, “Baiklah, Teman-teman, mengapa kalian tidak minum?”
“Kami menunggu kedatanganmu.”
“Bagus sekali, Teman-teman,” kata Bodhisatta.
Kemudian ia mengitari danau itu, dan meneliti dengan cermat setiap jejak kaki yang ada di sekitar tempat itu. Hasilnya, ia menemukan bahwa semua jejak mengarah ke danau itu dan tidak ada satu pun jejak yang naik dari danau. “Tidak ada keraguan lagi,” ia berpikir, “ini adalah sarang raksasa.” Ia pun berkata kepada para pengikutnya, “Kalian benar, Teman-temanku, dengan tidak minum air dari danau ini; danau ini dihuni oleh raksasa.”
Raksasa yang menyadari mereka tidak akan masuk ke dalam wilayahnya, [171] mengubah bentuknya menjadi makhluk yang mengerikan, dengan perut berwarna biru, wajah putih serta tangan dan kaki yang berwarna merah terang. Dengan bentuk seperti itulah ia keluar dari danau dan berkata, “Mengapa kalian duduk di sini? Turunlah ke danau dan minum.” Bodhisatta berkata padanya, “Bukankah engkau raksasa yang menghuni danau ini?” “Ya,benar,” jawabnya. “Apakah engkau memangsa semua makhluk yang masuk ke dalam danau ini?” “Benar, mulai dari burung yang paling kecil sampai makhluk lain yang paling besar. Saya tidak pernah melepaskan makhluk yang masuk ke dalam danau milikku. Saya akan memangsa sebagian dari kalian juga.” “Kami tidak akan membiarkan engkau memangsa kami.” “Minum saja airnya.” “Akan kami minum airnya, dan tetap tidak terjatuh dalam kekuasaanmu.” “Kalau begitu, bagaimana cara kamu meminum air itu?” “Ah, kamu mengira kami harus turun ke dalam kolam untuk minum; namun, tanpa itu pun, masing-masing dari delapan puluh ribu pengikut saya akan mengambil bambu dan minum air danau dari tempat ini, semudah kami minum melalui batang bunga teratai yang berongga. Jadi, engkau tidak akan bisa memangsa kami.” Ia mengulangi sebagian dari syair ini pada raksasa itu (bagian awalnya ditambahkan oleh Sang Guru ketika, sebagai seorang Buddha, Beliau menceritakan kembali kejadian ini) : —
Saya menemukan jejak-jejak kaki yang semuanya
mengarah turun tanpa ada satu jejak pun yang naik kembali.
Kami akan minum dengan menggunakan bambu;
engkau tidak akan bisa mengambil nyawa kami.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Bodhisatta mengambil sebatang bambu. Kemudian ia membangkitkan Sepuluh Kesempurnaan dalam pikirannya yang dikumpulkannya, ia melafalkannya dalam satu pernyataan kebenaran; setelah itu ia meniup bambu tersebut. [172] Seketika itu juga, bambu menjadi berongga, tanpa ada satu sekat pun di antara batangnya. Dengan cara seperti itu, ia mengambil satu demi satu batangan bambu itu dan meniupnya satu per satu. (Jika dilakukan seperti ini, ia tidak akan mampu menyelesaikannya sendirian. Oleh karena itu, kalimat sebelumnya tidak seharusnya dipahami secara harfiah). Kemudian Bodhisatta mengelilingi danau itu, dan memberi perintah, “Tumbuhlah semua bambu yang ada di sini dengan rongga di sepanjang batangnya.” Berkat kebajikan yang telah dikumpulkannya sehingga Bodhisatta memiliki timbunan karma baik yang besar, yang membuat perintahnya terpenuhi. Sehingga setiap batang bambu yang tumbuh di sekitar danau itu memiliki rongga di sepanjang batangnya.
(Pada kalpa ini, terdapat empat jenis keajaiban yang bertahan selama kalpa tersebut berlangsung. Apa saja keempat keajaiban itu? Keajaiban-keajaiban itu adalah — Pertama, gambar kelinci di bulan 53 yang bertahan di sepanjang kalpa tersebut; Kedua, tempat api dipadamkan seperti yang disebutkan dalam Vaṭṭaka-Jātaka54, tempat itu tetap tidak akan tersentuh oleh api sepanjang kalpa tersebut; Ketiga, Rumah Ghatīkārā55, dimana tidak ada hujan yang turun di sepanjang kalpa tersebut; dan yang terakhir, bambu yang tumbuh di sekitar danau ini menjadi berongga di sepanjang batangnya di sepanjang kalpa tersebut. Itulah empat Keajaiban Kalpa)
Setelah memberikan perintah ini, Bodhisatta duduk dengan sebatang bambu di tangan. Kedelapan puluh ribu ekor kera itu juga duduk di sekitar danau dengan bambu di tangan mereka. Saat Bodhisatta mengisap air melalui bambu yang dipegangnya, kawanan kera juga minum dengan cara yang sama, sambil duduk di pinggir danau. Dengan cara itulah mereka minum, dan tak ada seekor kera pun yang bisa ditangkap oleh raksasa tersebut. Maka pergilah raksasa itu dengan penuh kekesalan, kembali ke habitatnya. Bodhisatta dan para pengikutnya juga kemudian kembali ke dalam hutan.
_____________________
Saat Sang Guru telah menyelesaikan uraian-Nya, dan telah mengulangi apa yang Beliau katakan mengenai rongga yang ada di bambu, yang disebabkan oleh suatu tindakan dari-Nya di kehidupan lampau, Beliau mempertautkan kedua kisah tersebut dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Devadatta adalah raksasa air, para siswa Buddha adalah kedelapan puluh ribu ekor kera tersebut, dan Saya sendiri adalah raja kera yang cerdik itu.”
Catatan kaki :
52 Di dalam Vinaya, (Cullav.V.11), Sang Buddha mengizinkan pemakaian wadah jarum yang terbuat dari bambu.
53 Lihat Jātaka No.316, dan Kathā-Sarit-Sāgara karya Tawney,Vol.II,hal.66, dimana terdapat sejumlah bagian yang berhubungan dengan gambar-gambar ini, dan Pañca-Tantra karya Benfey,I.349. Lihat juga Cariyā-Pitaka,hal.82.
54 No.35
55 Lihat Ghatīkārā Sutta (No.81 dari Majjhima Nikayā), Dhammapada hal.349, dan Milindapañha, hal.222.

Tidak ada komentar: