Kamis, 29 Maret 2012

NIGRODHAMIGA-JĀTAKA

“Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang ibunda dari Thera Kassapa. Seperti yang diketahui, ia adalah putri dari seorang saudagar kaya di Rājagaha, ia sangat menjunjung kebaikan dan memandang rendah hal-hal yang bersifat duniawi; ia telah mencapai kelahiran terakhirnya, di dalam dirinya seperti nyala lampu dalam kegelapan, terpancar keyakinan untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Begitu memahami keinginannya, ia tidak lagi menikmati kesenangan indriawi, yang ada hanya niat untuk meninggalkan keduniawian. Untuk mencapai keinginannya, ia mengatakan kepada ibu dan ayahnya, “Orang tuaku yang tercinta, saya tidak menemukan kebahagiaan dalam kehidupan keduniawian ini, saya merasa malu jika tidak menjalankan ajaran Buddha. Biarkan saya menjadi anggota Sanggha.”
“Apa, Anakku? Kita adalah keluarga yang sangat kaya, dan kamu adalah putri tunggal kami. Kamu tidak boleh menjadi anggota Sanggha.”
Gagal mendapatkan persetujuan orang tuanya walaupun ia mengulangi permintaan itu lagi dan lagi, akhirnya ia berpikir, “Kalau begitu, setelah saya menikah, saya akan meminta persetujuan dari suami saya dan menjadi anggota Sanggha.” Setelah dewasa ia menikah, ia menjadi seorang istri yang berbakti, dan menjalani hidup dengan penuh kebaikan dan kebajikan 41 di rumah barunya. Telah tiba saat baginya untuk melepaskan impiannya, walaupun ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukannya.
Saat sebuah perayaan berlangsung di kota, [146] semua orang mendapatkan libur, kota itu dihiasi menyerupai kota dewa. Namun ia, bahkan di saat puncak perayaan, tidak berdandan maupun memakai perhiasan, ia hanya tampil seadanya seperti hari-hari biasa. Suaminya bertanya, “Istriku, semua orang sedang bergembira, mengapa engkau tidak bersemangat?”
“Pemimpin dan Tuanku,” ia menjawab, “badan ini diisi dengan tiga puluh dua komponen, jadi mengapa ia harus dihias? Badan ini bukan cetakan dari dewa maupun brahma; tidak terbuat dari emas, permata, atau kayu cendana; tidak dikandung dalam bunga teratai, baik yang putih, merah maupun biru; tidak
diisi dengan balsem keabadian. Tidak, badan ini akan rusak, dilahirkan oleh manusia biasa, mutu badan ini ditentukan oleh apa yang ia pakai dan yang dihabiskannya, ia akan hancur dan binasa karena bersifat sementara; sudah pasti ia akan dikubur, dan juga dipenuhi dengan nafsu keinginan; sumber penderitaan dan ratapan kita; tempat tinggal segala jenis penyakit, dan tempat dimana kita menimbun karma. Di dalamnya juga kotor — selalu mengeluarkan kotoran. Yah, seperti yang dapat dilihat semua orang, diakhiri oleh kematian, dibawa ke pemakaman, kemudian dijadikan tempat tinggal bagi cacing-cacing42 [147]. Apa yang dapat saya peroleh, Suamiku, dengan membuatnya menarik? Bukankah mendandaninya sama dengan menghiasi bagian luar dari kotoran yang telah dibungkus?”
“Istriku,” balas saudagar muda itu, “jika engkau menganggap tubuh ini begitu menjijikkan, mengapa engkau tidak menjadi seorang bhikkhuni saja?”
“Jika saya diterima, Suamiku, saya akan bergabung secepat mungkin.” “Baiklah,” jawab suaminya, “saya akan membuatmu diterima oleh Sanggha Bhikkhuni.” Suaminya memberikan sejumlah hadiah dan bersikap ramah terhadap Sanggha, mengirimkan sejumlah orang untuk mendampingi istrinya di kuti, ia pun diterima menjadi bhikkhuni, — namun dalam Sanggha yang dipimpin oleh Devadatta. Bagian yang baik adalah, ia merasa bahagia karena keinginannya untuk menjadi bhikkhuni telah terpenuhi.
Dengan berlalunya waktu, para bhikkhuni melihat ada perubahan dalam dirinya, keringat di tangan dan kakinya serta badan yang semakin gemuk, berkata, “Ayya, kamu terlihat seperti orang yang sedang mengandung; apa yang telah terjadi sebenarnya?”
“Saya tidak tahu, Ayya; saya hanya tahu saya sedang menjalankan hidup yang suci.”
Para bhikkhuni membawanya menghadap Devadatta, berkata, “Yang Mulia, wanita ini, yang menjadi bhikkhuni dengan persetujuan yang diberikan secara berat hati oleh suaminya, terlihat sedang mengandung. Namun apakah ini terjadi sebelum atau sesudah ia menjadi bhikkhuni, tidak bisa kami katakan. Apa yang harus kami lakukan?”
Belum menjadi Buddha dan tidak mempunyai kebaikan hati, cinta kasih dan belas kasih, Devadatta berpikir, “Akan menjadi kabar yang merusak citraku jika hal ini tersebar keluar, bahwa salah seorang bhikkhuni pengikutku sedang mengandung dan aku mengampuni pelanggaran yang dilakukannya. Sudah jelas apa yang harus aku lakukan — aku harus mengeluarkannya dari Sanggha.” Tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu, tangannya bergerak ke depan seakan mendorong tumpukan batu, ia berkata, “Pergi, usir wanita ini !”
Menerima jawaban itu, mereka bangkit, memberikan hormat, kemudian kembali ke kuti mereka. Wanita itu berkata kepada para bhikkhuni, “Ayya, Devadatta bukanlah Sang Buddha. Saya tidak mengambil sumpah terhadap Devadatta, namun terhadap Buddha, yang terkemuka di seluruh dunia. Jangan rampas kesempatan yang telah saya peroleh dengan susah payah ini; bawa saya ke Jetawana untuk menghadap Sang Guru.” Maka mereka membawanya ke Jetawana, dengan menempuh perjalanan sejauh empat puluh lima yojana dari Rājagaha, setelah tiba di sana, mereka memberikan penghormatan kepada Sang Guru dan memaparkan kejadian tersebut kepada Beliau.
Sang Guru berpikir, “Sekalipun anak ini dikandung sewaktu ia masih umat awam, hal ini akan memberi kesempatan kepada orang-orang untuk mengatakan bahwa Petapa Gotama [148] menerima bhikkhuni yang diusir oleh Devadatta. Untuk menghindari hal tersebut, kasus ini harus dibicarakan di hadapan raja dan pengadilannya.” Maka keesokan harinya Beliau mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anāthapiṇḍika dan anaknya, Visākhā – upasika yang terkenal dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Sorenya, keempat kelompok siswa Sang Buddha telah berkumpul – bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika – Beliau berkata kepada Thera Upāli, “Pergilah untuk menjelaskan masalah bhikkhuni tersebut di hadapan keempat kelompok siswa-Ku.”
“Akan segera saya laksanakan, Bhante,” jawab thera itu, dan segera pergi ke tempat mereka berkumpul. Di sana, ia duduk di tempatnya, kemudian memanggil Visākhā – upasika yang merupakan siswa Sang Buddha, di bawah tatapan raja, memintanya untuk memimpin penyelidikan tersebut, dengan berkata, “Pertama, tegaskan pada tanggal berapa bulan berapa wanita ini bergabung dalam Sanggha Bhikkhuni, Visākhā; kemudian hitung apakah ia mengandung sebelum atau sesudah tanggal tersebut.”
Untuk melaksanakan perkataan thera itu, para wanita memasang tirai membentuk penyekat, ke sanalah Visākhā dan wanita itu pergi. Dengan memperhatikan tangan, kaki, pusar, dibandingkan dengan hari dan bulan, Visākhā mendapatkan bahwa kehamilan itu terjadi sebelum wanita itu menjadi bhikkhuni. Hal ini kemudian di sampaikan kepada Thera Upāli, yang mengumumkan bahwa bhikkhuni tersebut tidak bersalah di hadapan semua orang yang berkumpul di tempat tersebut. Setelah dinyatakan tidak bersalah, ia memberikan penghormatan kepada Sanggha dan Sang Guru, kemudian kembali ke tempat tinggal mereka.
Ketika waktu untuk melahirkan telah tiba, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang penuh semangat, seperti apa yang pernah ia minta di kaki Buddha Padumuttara di kelahiran lampau. Suatu hari, saat raja melewati kuti itu, ia mendengar suara tangisan bayi dan bertanya kepada para menterinya mengapa terdapat bayi di kuti itu. Para menteri yang mengetahui kejadian tersebut menjelaskan kepada raja bahwa itu adalah tangisan dari bayi yang dilahirkan oleh bhikkhuni tersebut. “Tuan-tuan,” kata raja, “mengasuh anak akan menghalangi para bhikkhuni menjalani kehidupan suci mereka, biar kita yang bertanggung jawab mengasuh anak itu.” Bayi itu kemudian diambil dari ibunya atas perintah raja. Ia pun diasuh layaknya seorang pangeran. Saat pemberian nama tiba, ia diberi nama Kassapa, namun lebih dikenal sebagai Pangeran Kassapa, karena ia dibesarkan layaknya seorang pangeran.
Pada usia tujuh tahun, ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan Sang Guru, dan menjadi bhikkhu setelah ia cukup dewasa. Dengan berlalunya waktu, ia menjadi terkenal karena kemampuannya dalam menjelaskan Dhamma secara terperinci. Sang Guru memberinya hak istimewa dengan mengatakan, “Para Bhikkhu, di antara para siswa-Ku, Kassapa adalah orang pertama yang paling fasih dalam menyampaikan Dhamma.” Kemudian, melalui pengamalan Vammika Sutta43 ia mencapai tingkat kesucian Arahat. Demikian pula dengan ibunya, bhikkhuni itu, dengan pandangan yang jernih berhasil mencapai jhana tertinggi. Kassapa adalah seorang thera yang bercahaya dalam ajaran Buddha, [149] laksana bulan purnama di langit. Suatu siang, setelah Sang Tathāgata kembali dari pindapata, Beliau membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, kemudian masuk ke dalam kamarnya yang wangi (gandhakuṭī) untuk beristirahat. Setelah khotbah berakhir, para bhikkhu menghabiskan sepanjang siang, di luar waktu istirahat siang mereka hingga menjelang sore hari saat berkumpul di Dhammasabhā (Balai Kebenaran), membicarakan hal berikut ini : — “Awuso, Devadatta, yang bukan seorang Buddha dan tidak memiliki kemurahan hati, cinta kasih dan belas kasih, hampir saja mengacaukan hidup Thera Kassapa dan hidup ibunya yang juga seorang bhikkhuni itu. Namun, Sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, Raja Dhamma yang sempurna dalam kebajikan, cinta kasih dan belas kasih, telah menyelamatkan hidup mereka.” Saat mereka sedang memuji tindakan Sang Buddha, Beliau memasuki balai itu dengan kemuliaan seorang Buddha. Setelah duduk di tempatnya, Beliau menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan pada saat itu. “Tentang kebaikan-Mu, Bhante,” jawab mereka, lalu menceritakan semua pembicaraan mereka kepada Beliau.
“Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata Beliau, “Sang Tathāgata membuktikan dan menyelamatkan hidup mereka berdua; hal yang sama juga terjadi di kehidupan lampau.”
Kemudian, atas permintaan para bhikkhu, Beliau menjelaskan apa yang tidak diketahui mereka karena adanya kelahiran kembali.
____________________
Sekali waktu Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa. Saat dilahirkan, ia berwarna keemasan, matanya bulat bagaikan batu permata; tan-duknya berkilau keperakan; bibirnya merah bagai sekumpulan kain merah tua; kuku di keempat kakinya terlihat seperti di pernis; ekornya bagaikan ekor yak; dan tubuhnya sebesar anak kuda. Bersama lima ratus ekor rusa lainnya, ia tinggal di sebuah hutan, ia di kenal sebagai Raja Rusa Beringin (Nigrodhamiga). Di dekat mereka, terlihat seekor rusa lain bersama lima ratus ekor rusa pendampingnya, rusa tersebut bernama Rusa Cabang (Sākhamiga), juga berwarna keemasan seperti Bodhisatta.
Pada masa itu, Raja Benares sangat suka berburu dan selalu memakan daging setiap kali ia makan. Setiap hari ia mengumpulkan semua penduduknya, baik orang desa maupun orang kota, untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan pergi berburu bersamanya. Rakyat kemudian berpikir, “Raja menghentikan semua kegiatan kami. Kami harus [150] menyebarkan makanan dan menyediakan air minum untuk rusarusa yang berada di taman peristirahatan raja, kemudian menggiring sejumlah rusa liar ke tempat tersebut, mengurung mereka di dalam dan menyerahkan mereka kepada raja!” Maka mereka menyebarkan rumput untuk rusa-rusa di taman peristirahatan raja, menyediakan air minum, dan membuka pintu gerbang selebar mungkin. Kemudian mereka meminta orangorang kota masuk ke dalam hutan dengan membawa tongkat dan semua jenis senjata lainnya untuk mencari rusa. Mereka mengelilingi hutan itu dengan radius satu yojana, bertujuan untuk menangkap rusa-rusa yang berada dalam lingkaran yang mereka buat. Saat berkeliling, mereka tiba di tempat yang sering didatangi oleh kawanan Rusa Beringin dan Rusa Cabang. Begitu melihat kawanan rusa itu, mereka mulai memukuli pepohonan, rerumputan dan tanah dengan menggunakan tongkat mereka, hingga akhirnya kawanan rusa itu berhasil mereka giring keluar dari sarang mereka. Setelah itu mereka membuat suara hiruk pikuk dengan memukulkan pedang, tongkat dan busur mereka untuk menggiring kawanan rusa tersebut ke taman peristirahatan raja, dan segera menutup pintu gerbang tempat tersebut. Kemudian mereka menghadap raja, berkata, “Paduka, Anda memerintahkan kami menghentikan semua kegiatan kami dan meminta kami pergi berburu; sekarang kami telah menggiring sejumlah besar rusa untuk memenuhi taman peristirahatanmu. Mulai sekarang, jadikanlah mereka santapanmu.”
Raja segera mengunjungi taman peristirahatan, saat mengamati kawanan rusa itu, ia melihat dua ekor rusa yang berwarna keemasan, dan menganugerahkan kekebalan terhadap hukuman mati kepada mereka. Kadang-kadang raja mengunjungi tempat itu, menembaki salah seekor rusa lalu membawa bangkai rusa itu pulang; Kadang-kadang, koki istana yang akan datang untuk membunuh salah seekor kawanan rusa itu. Begitu melihat busur, kawanan rusa itu berlari ketakutan untuk menyelamatkan nyawa mereka; setelah mendapat dua hingga tiga luka di badan, mereka menjadi lemas dan jatuh pingsan, kemudian dibunuh. Kawanan rusa ini menceritakan hal tersebut kepada Bodhisatta, ia kemudian mengundang Rusa Cabang dan berkata, “Teman, sejumlah rusa telah dibunuh; walaupun mereka tidak bisa lolos dari kematian, paling tidak mereka tidak perlu menerima luka yang tidak perlu mereka derita. Mereka akan menerima kematian 44 secara bergiliran. Satu hari dari kawananku dan keesokan harinya giliran kawananmu, — rusa yang mendapat giliran harus pergi ke tempat pelaksanaan hukuman mati itu dan berbaring dengan posisi kepala berada di balok hukuman mati tersebut. Dengan cara ini, rusa-rusa yang lain tidak perlu menderita luka.” Rusa Cabang itu setuju; mulai saat itu, rusa yang mendapat giliran, pergi ke sana [151] dan berbaring dengan leher berada di balok tersebut. Koki yang datang hanya akan membunuh korban yang telah menunggu kematiannya.
Suatu hari, giliran itu jatuh ke tangan seekor rusa betina dari kawanan Rusa Cabang yang sedang mengandung. Ia mencari Rusa Cabang dan berkata, “Tuanku, saya sedang mengandung. Setelah saya melahirkan, kami berdua akan menerima giliran kami. Biarkanlah saya melompati giliran kali ini.” “Tidak, saya tidak bisa mengganti giliranmu dengan rusa yang lain,” jawabnya, “kamu harus menerima peruntunganmu sendiri. Pergilah!” Tidak mendapat bantuan dari Rusa Cabang, rusa betina itu mencari Bodhisatta dan menceritakan masalah yang ia hadapi. Bodhisatta menjawab, “Baik, pergilah, saya berjanji engkau telah melewati giliran tersebut.” Bersamaan itu, ia pergi ke tempat pelaksanaan hukuman mati dan membaringkan dirinya dengan kepala berada di atas balok. Koki berteriak saat melihat Rusa Beringin itu, “Mengapa Raja Rusa yang mendapat kekebalan itu bisa berada di sini? Apa maksud kejadian ini?” Ia segera berlari menemui raja dan menceritakan hal tersebut. Mendengar kejadian itu, raja naik kereta perangnya dan tiba bersama sejumlah pengawal. “Raja Rusa temanku,” ia berkata sambil memandang Bodhisatta, “bukankah saya telah menjanjikan kehidupan untukmu? Mengapa engkau bisa berbaring di sini?”
“Paduka, seekor rusa betina yang sedang hamil tua datang menghadapku, memohon agar gilirannya digantikan oleh rusa lain; karena saya tidak bisa memindahkan kematian dari satu rusa ke rusa yang lain, maka saya menukarkan nyawa saya untuknya dan kematiannya untuk saya dengan berbaring di sini. Jangan berpikir ada alasan lain untuk tindakan ini, Paduka.”
“Raja Rusa Emas,” kata Raja, “saya belum pernah melihat, bahkan di antara para manusia, seseorang dengan kebaikan hati, cinta kasih dan belas kasih sebesar yang engkau miliki. Hal ini membuat saya merasa senang terhadap keberadaanmu. Bangkitlah! Saya bebaskan nyawamu dan nyawa rusa betina itu.”
“Meskipun dua nyawa telah diselamatkan, apa yang akan terjadi pada rusa-rusa lainnya, wahai Raja Para Manusia?” “Akan saya bebaskan juga nyawa mereka, Raja Rusa.” “Paduka, hanya rusa di taman peristirahatanmu yang bebas dari hukuman mati, apa yang akan terjadi pada semua rusa lain yang ada?” “Nyawa mereka akan saya bebaskan juga, Raja Rusa.” “Paduka, rusa-rusa akan aman; namun, apa yang akan terjadi pada makhluk berkaki empat lainnya?” [152] “Nyawa mereka juga akan saya bebaskan, Raja Rusa.” “Paduka, makhluk-makhluk berkaki empat akan merasa aman, namun apa yang akan terjadi pada kawanan burung?” “Nyawa mereka juga akan saya bebaskan, Raja Rusa.” “Paduka, burung-burung akan aman, bagaimana dengan ikan-ikan yang hidup di air?” “Saya akan membebaskan nyawa mereka juga, Raja Rusa.”
Setelah memohon pengampunan Raja atas nama seluruh makhluk hidup, makhluk yang agung itu pun bangkit, ia mengukuhkan lima latihan moralitas (Pañca Sīla) kepada raja, dan berkata, “Berjalanlah di jalan kebenaran, Raja yang agung. Berjalan di jalan kebenaran dan keadilan untuk orang tua, anakanak, orang-orang kota dan para penduduk desa, sehingga saat raga ini hancur, engkau akan memasuki alam bahagia.” Dengan keagungan dan ketulusan yang merupakan tanda-tanda dari seorang Buddha, ia membabarkan Kebenaran kepada raja. Selama beberapa hari ia tinggal di taman peristirahatan raja atas perintah raja, kemudian kembali ke hutan bersama kawanan rusa pengikutnya.
Rusa betina itu melahirkan seekor anak rusa yang cantik, seperti kuncup teratai yang hendak mekar. Anak rusa itu sering bermain bersama Rusa Cabang. Melihat itu, ibunya berkata, “Anakku, jangan bermain bersama Rusa Cabang, bermainlah bersama kawanan Rusa Beringin.” Dengan tujuan menasihati anaknya, ia mengulangi syair berikut ini : —
Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin,
dan hindari bersama kawanan Rusa Cabang;
Lebih banyak kebahagiaan, jauh dari kematian, Anakku,
bersama dengan Rusa Beringin, dibanding syarat-syarat hidup yang berlebihan dari Rusa Cabang.
Setelah itu, rusa-rusa yang mendapat kekebalan, makan hasil panen manusia, dan para manusia, yang mengingat kekebalan yang dianugerahkan kepada mereka, tidak berani memukul atau menggiring pergi rusa-rusa itu. Mereka berkumpul di ruang pengadilan kerajaan dan menyampaikan masalah itu kepada raja. Raja berkata, “Saat Rusa Beringin mendapatkan bantuanku, [153] saya telah menjanjikan anugerah untuknya. Lebih baik saya melepaskan kerajaan dari pada menarik kembali janji yang telah saya ucapkan. Pergilah! Tidak boleh ada orang di kerajaanku yang melukai rusa-rusa itu.”
Saat kabar itu terdengar oleh Rusa Beringin, ia mengumpulkan semua kawanan rusanya, dan berkata, “Mulai saat ini, kalian tidak boleh makan hasil panen para manusia.” Setelah memberi larangan pada rusa-rusa itu, ia mengirimkan pesan kepada manusia, yang berbunyi, “Mulai hari ini, para petani tidak perlu memagari ladang mereka, namun berikan tanda berupa daun yang diikatkan di sekeliling ladang.” Sebagaimana yang kita ketahui, sejak adanya ide mengikat dedaunan untuk menandai ladang-ladang, tidak ada lagi rusa yang memasuki ladang-ladang yang telah ditandai. Semua itu berkat petunjuk yang diberikan oleh Bodhisatta.
Setelah memberikan nasihat kepada kawanan rusa itu, dan setelah hidup cukup lama, akhirnya Bodhisatta meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan karmanya. Demikian juga dengan raja yang mematuhi ajaran Bodhisatta, setelah menghabiskan hidup dengan melakukan kebaikan, ia meninggal dunia dan terlahir kembali sesuai dengan karmanya.
____________________
Setelah uraian itu berakhir, Sang Buddha mengulangi bahwa saat ini, sama di seperti di kelahiran lampau, Beliau telah menyelamatkan sepasang nyawa, kemudian Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Setelah itu Sang Bhagawan mempertautkan kedua kisah tersebut, dan menjelaskan kelahiran itu dengan berkata, “Devadatta adalah Rusa Cabang, dan pengikutnya adalah pengikut Rusa Cabang; bhikkhuni itu adalah rusa betina di masa itu, dan Kassapa adalah anak rusa betina itu; Ānanda adalah raja tersebut; dan Saya sendiri adalah Raja Rusa Beringin.”
[Catatan : Jātaka ini berhubungan dengan Milindapañho (hal.289 dari terjemahan Rhys Davids), dan tertera di Plates XXV.(1) dan XLIII.(2) dari Stupa of Bharhut karya Cunningham. Lihat juga Huen Thsang,II.361 karya Julien. Untuk syair dan cerita pembuka, lihat Dhammapada, hal.327-330.]
Catatan kaki :
41 Mungkin juga, “dengan penuh keindahan.”
42 Rentetan yang panjang dari syair tentang kejijikan dari anggota tubuh telah dihilangkan.
43 Sutta kedua puluh tiga dari Majjhima-Nikāya.
44 Untuk dhammagaṇḍikā lihat Jāt.II.124;III.41

Tidak ada komentar: